
(Merenungi untuk Mengarungi)
*Siorus Ewanaibi Degei
Awal Juli 2024 ini saya berkesempatan menjunjungi Kota Karang Panas Biak dalam rangka kegiatan akademik dari kampus selama dua pekan. Iktikad awal saya ketika injakkan kaki di Biak adalah berziarah ke Tower Biak yang menjadi monumen saksi bisu tragedi Biak Berdarah juga simbol kebangkitan perlawanan bangsa West Papua tuntut kemerdekaan penuh, utuh dan menyeluruh pasca reformasi ’98. Ada sebuah kerinduan yang besar untuk bercengkrama ke tower tersebut guna menimbah spirit perjuangan para leluhur santo dan martir kebenaran yang telah gugur di bawah tower tersebut.
Kami rombongan dari Numbay tiba tepat pada jam 12 malam, keesokan paginya saya bersama beberapa sahabat merembukkan rencana untuk berziarah ke Tower Biak Berdarah. Bagi kami berziarah ke Tower Biak Berdarah adalah suatu keharusan ketika tiba di kota karang panas, kota yang melahirkan banyak jenderal besar di jalan tua menuju Papua Tanah Damai, sebelum menyambangi ragam destinasi wisata memanjakan lainnya di Biak. Namun karena tertidur pulas pada siang harinya saya tidak sempat berkunjung, beberapa sahabat itu yang berziarah ke sana. Besok paginya barulah bersama seorang sahabat kami pergi ke Tower yang letaknya kebetulan tidak jauh dari tempat kami tinggal, tepat di depan pelabuhan.
Tower Biak Berdarah itu tidak begitu tinggi, memang rata-rata bangunan di Biak tidak tinggi menjulang karena memang secara geografis ia berdiri di karang sehingga bangunan tinggi akan sulit berdiri kokoh. Dari kejauhan sudah mulai nampak tower Biak, panoramanya memiliki daya magis sakral tersendiri bagi mata-mata yang baru pertama kali melihatnya, apalagi pemilik mata tersebut adalah jiwa yang terbakar mengabarkan berita perdamaian di tanah paling timur ini.
Sebagai orang awam yang hanya mengetahui sejengkal informasi seputar tragedi Biak batin saya meronta-ronta kegirangan, rasa haru, bangga, sedih dan bahagia bercampur bak papeda dalam wadah. Mata saya berbinar ketika semakin dekat memandang Tower Biak yang menjadi tanda perlawanan bangsa West Papua di Biak tatkala angin demokrasi dan reformasi mulai bertiup kencang pasca tumbangnya rezim otoritarian Soeharto lewat corong aksi ’98. Di bawah payung karang pimpinan mendiang Mambri Filep Karma (1959-2022) Sang Fajar Timur, sosok Jenderal dan Panglima Tertinggi Bangsa West Papua MENGUDARA dengan perkasanya.
Berdasarkan naskah keriput yang ada, peristiwa Pengibaran Bendera Bintang Kejora di Tower Biak ini mau menunjukkan eksistensi nasionalisme dan patriotisme bangsa West Papua sebagai suatu negara bangsa yang sudah merdeka dan untuk itu mereka menuntut pengakuan internasional pasca terbukanya kran demokrasi dan reformasi. Massa rakyat Papua berkumpul, mengitari Tower tersebut dengan penuh antusiasme yang pesat. Mereka datang dari kampung mereka masing-masing dengan satu atensi luhur nan kudus untuk bebas merdeka. Ada yang dayung perahu dan sampan sederhananya, memotong badai ombak khas pantai karang yang garang untuk mengekpresikan isi hati kecilnya untuk berdiri sendiri di atas negeri pusakanya tanpa dominasi dan hegemoni penjajah yang mengalienasi harkat dan martabatnya secara barbar.
Tepat di depan Tower sakral yang menjadi penanda awal kebangkitan revolusioner bangsa Papua berjuang menegakkan harkat dan martabatnya itu, saya memulai tradisi para leluhur yang luhur, menggenggam dengan penuh hikmah penghayatan kerutan tanah di bawah kaki Tower, meresapi energi kepahlawanan yang masih berbenih basah subur di situ. Beberapa menit roh ini semacam dikawal masuk ke dunia lampau tepat tanggal 06 Juli 1998, menyaksikan peristiwa bersejarah yang penuh air mata darah itu. Menggenang kembali bagaimana Mambri Filep Karma Mengudarakan Panglima Agung, Sang Fajar Timur, Bintang Kejora dengan gagah berani tanpa sedikitpun rasa takut gegabah.
Kegetiran, ratap tangis serta gertak gigi para korban Tragedi Biak Berdarah, teristimewa anak-anak kecil, ibu-ibu hamil dan para tetua ringkih tak berdosa bersalah yang mengalami penyiksaan bengis sadis di Kapal Putih milik marinir yang mengubah kulit laut biru menjadi merah darah pekat itu terlihat baik. Bulu kuduk ikut berdiri serentak, ketika telinga ini secara terang benderang mendengarkan suara-suara penghuni surga yang secara paksa digiring Dajjal berseragam aparat keamanan dan pertahanan rezim penindas untuk mencicipi neraka ciptaan mereka.
Setelah berziarah sejenak, saya mengangkat kepala, menyingsingkan lengan baju untuk terus melangkah maju, berjanji pada karang Biak untuk senantiasa menjunjung tinggi Sang Fajar Timur setinggi Tower Biak, ia terlihat reyot, lapuk, dan sebagainya, tapi ia masih berdiri kokoh, masih memperlihatkan eksistensi daya magis sakralnya sebagai tempat paling bersejarah juga paling berdarah. Saya merenungkan bahwa komitmen perjuangan bangsa Papua itu seperti halnya Tower Biak ini, ia dari luar terlihat biasa-biasa saja, tidak ada hal yang begitu luar biasa dari padanya, namun satu hal yang tidak bisa kita lupakan bahwa ia selalu ada dengan adanya yang apa adanya, dan justru inilah daya perjuangan yang tidak dapat dipandang sederhana.
Kita harus sadar bahwa Tower yang menjadi simbol perjuangan ini berdiri kokoh tepat di Kota Karang Panas Biak. Sebagaimana batu karang yang secara filosofi memiliki nilai-nilai fundamental seperti kokoh, kuat, tahan banting, tak gentar. Batu karang walaupun secara berulang-ulang ditampar kiri-kanan oleh badai ombak yang besar, kuat, dan tinggi sekalipun ia tidak akan pernah goyang, ia tidak gentar, tidak mundur, ia tidak hancur lebur, sebaliknya ia justru semakin kokoh, kuat dan tahan banting.
Ditambah lagi “panas”, batu karang yang panas, panas ini menyiratkan makna agresif, progresif dan aktif, ia tidak beku, ia tidak dingin, ia tidak diam, ia tidak lemah gemulai. Ia selalu terbakar, ia selalu bernyala-nyala tidak pernah padam, inilah manifestasi konkret dari simbolisasi sekaligus personifikasi eksistensi nasionalisme dan patriotisme bangsa West Papua. Komitmen dan konsistensi bangsa West Papua untuk bebas merdeka dari penjajah Indonesia dan sekutunya itu tidak akan pernah diam, padam, hancur, dan mati. Semakin bangsa penjajah menjajahnya, menindasnya ia justru akan semakin jauh lebih kuat, semakin terkristalisasi, terpurifikasi sehingga mampu terglorifikasi dengan baik segala penjuru jarum bumi.
Sedikit catatan peristiwa Biak Berdarah pada 06 Juli 1998 (kini 26 tahun) ini telah mengakibatkan: 11 orang meninggal dunia, 33 orang ditangkap sewenang-wenang, 150 orang mengalami penyiksaan, 32 orang mayat misterius dan hilang entah kemana, yang jelas ini dilakukan oleh aparat negara secara kilat. Hari ini rakyat Papua mengenang peristiwa ini dengan slogan “Melawan Lupa”, selain Tragedi Biak, ada juga Tragedi Wasior Berdarah 2001, Tragedi Wamena Berdarah 2000, Tragedi Paniai Berdarah 2014, Tragedi Ndugama Berdarah 2018, Tragedi Intan Jaya Berdarah 2019, Tragedi Dogiyai Berdarah, Tragedi Puncak Jaya Berdarah dan lainnya. Semua tragedi ini hingga sampai saat ini belum menemui jalan perdamaian yang seadil-adilnya, berkas masalahnya dibiarkan berserakan begitu saja di kantor Menko Polhukam. Pelakunya dilindungi, diberikan apresiasi berupa kenaikan pangkat dan tanda jasa sebagai pahlawan, sementara para korban berserta keluarganya sama sekali tidak mendapatkan rasa keadilan, justru ketika mereka menuntut keadilan di situlah kebedilan yang muncul.
Barangkali inilah beberapa hal yang sempat terselip saat berziarah ke Tower Biak yang berdiri kokoh di atas Kota Karang Panas yang gagah. Terkahir, kita boleh terlarut jauh ke dalam hingar bingar dan euforia Euro dan Copa America, tetap jangan lupa di hari ini untuk menyisipkan doa hati kecil bagi perdamaian tanah tercinta West Papua.*
)* Penulis adalah Manusia Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura-Jayapura