Oleh: Wendy Eko Suswinarko
Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) seharusnya tak sekadar dimaknai sebagai penghematan anggaran. Ini adalah sinyal keras agar hubungan keuangan pusat dan daerah diperbaiki, sekaligus ujian bagi kualitas kepemimpinan di tingkat lokal.
Isi Artikel
Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat kembali memantik perdebatan tentang arah otonomi dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Banyak pihak menilai kebijakan ini sebagai bentuk efisiensi keuangan. Namun, sebagaimana disampaikan oleh Firdaus Arifin, dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan, langkah ini seharusnya dibaca sebagai peringatan serius bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah sedang tidak sehat.
Firdaus menawarkan pandangan menarik: efisiensi seharusnya tidak hanya bermakna penghematan. Ia mendorong perlunya redefinisi konsep kinerja daerah. Selama ini, kinerja sering diukur dari seberapa cepat anggaran terserap, padahal indikator sejati adalah kualitas layanan publik dan dampak sosial.
Daerah yang berinovasi dan mampu menciptakan manfaat nyata bagi rakyat seharusnya mendapatkan insentif, bukan sekadar yang memiliki PAD besar.
Pandangan ini membuka ruang refleksi penting bagi pemerintah daerah: bahwa kualitas tata kelola dan strategi pelayanan publik harus ditingkatkan. Pelayanan yang baik tidak lahir dari rutinitas administratif, melainkan dari perencanaan yang tepat sasaran dan berpihak pada kebutuhan masyarakat.
Namun, strategi yang jitu tidak akan lahir dari pejabat hasil kompromi politik praktis dan uang. Selama jabatan strategis masih dibentuk oleh kepentingan sempit, sulit berharap adanya inovasi nyata di daerah.
Oleh karena itu, pimpinan daerah harus berani menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat. Kompetensi, integritas, dan visi pelayanan publik harus menjadi dasar utama dalam penentuan pejabat.
Daerah yang ingin maju membutuhkan pejabat yang cerdas, berani mengambil keputusan, dan memiliki orientasi jangka panjang.
Pemangkasan TKD bukan akhir dari otonomi, melainkan ujian atas kualitas kepemimpinan daerah.
Inilah saatnya daerah membuktikan: apakah siap berdiri di atas kemandirian, atau hanya mengandalkan dana pusat tanpa arah pembangunan yang jelas.
Ketika dana pusat menyusut, yang tersisa hanyalah kualitas kepemimpinan. Di sinilah daerah dituntut untuk membuktikan: bisa berinovasi atau sekadar menyalin rutinitas lama.
Pemangkasan TKD harus menjadi alarm bagi kepala daerah untuk menata ulang timnya. Karena strategi yang jitu hanya lahir dari pejabat yang berkompeten, bukan hasil kompromi politik dan uang.
Opini: Wendy Eko Suswinarko
ASN, Pemerhati Teknologi dan Energi Terbarukan, Jurnalis Televisi Nasional.
![]()

More Stories
YKKMP Kencam Tindakan Main Hakim Sendiri Oknum Anggota Kodim 1702 Jayawijaya Di Duga Pelaku Terhadap Almarhum Frengki Kogoya
Frengky Kogoya Tewas Dianiaya dan Ditembak Oknum TNI Kodim 1702/Jayawijaya, Keluarga Tuntut Proses Hukum, Ini Kronologis
Opini Kampus sebagai Alat Penindasan: Refleksi Sistem Pendidikan yang Bobrok dan Korup di Tanah Papua