
(Memahami Pemikiran dan Perjuangan Vandana Shiva)
*Siorus Ewainaibi Degei
Pada seri tulisan keempat kita sudah memahami salah satu konsep Shiva yang bertajuk demokrasi bumi. Seri kelima akan menambah dua konsep pemikiran Shiva lengkap dengan cuplikan perjuangannya dalam merealisasikan ide-ide besar dalam dunia intelektual tapi juga medan hidup aktual. Seri kelima ini pun menjadi aksara pojok dalam ziarah intelektual kita dalam lima (5) seri tulisan bertema ‘Terra Mater: Demokrasi Bumi dan Keadilan Ekologi’, sebuah upaya memahami pemikiran dan perjuangan dewi bumi, pelindung benih kehidupan dari India, Vandana Shiva.
Keadilan Ekologi
Perjuangan Vandana Shiva merupakan sebuah panggilan untuk membangun masyarakat yang lebih adil, berkelanjutan dan menghormati alam. Vandana Shiva mengaitkan penindasan perempuan dengan perusakan lingkungan dengan menunjukkan bahwa keduanya merupakan hasil dari sistem patriarki dan kapitalisme yang mendominasi. Shiva menimbang, bahwa perempuan, terutama di negara berkembang, memiliki hubungan yang erat dengan alam karena peran mereka dalam pertanian dan pengelolaan sumber daya. Ketika sistem pembangunan yang didominasi laki-laki mengeksploitasi alam, perempuan juga ikut terdampak. Shiva mencontohkan bagaimana revolusi hijau, yang didorong oleh model pembangunan barat, telah menghancurkan keanekaragaman hayati dan menyebabkan kerusakan lingkungan.
Pada saat yang sama, revolusi hijau juga menindas perempuan dengan menggantikan metode pertanian tradisional yang berpusat pada perempuan dengan sistem monokultur yang bergantung pada input kimia dan teknologi. Dengan demikian Shiva menunjukkan bahwa perusakan lingkungan dan penindasan perempuan merupakan dua sisi mata uang yang sama, dan bahwa mencapai keadilan lingkungan membutuhkan pembebasan perempuan dan perubahan mendasar dalam sistem pembangunan. Vandana Shiva mengusulkan solusi untuk mengatasi penindasan perempuan dan perusakan lingkungan dengan mengembalikan kekuatan kepada masyarakat lokal, terutama perempuan dan mendorong mereka mengadopsi model pembangunan alternatif yang berkelanjutan.
Ekofeminisme
Shiva juga dikenal bukan saja sebagai aktivis lingkungan dan filsuf sains, tetapi juga sebagai seorang ekofenimis. Apa itu ekofenimis? Ekofeminis adalah sebuah cabang dari feminisme dan ekologi politik yang mengeksplorasi hubungan antara perempuan dan alam. Ada sebuah buku yang membahas konse ekofeminisme dari Vandan Shiva dan Maria Mies (seorang sosiolog dan feminis marxisi asal Jerman) yang berjudul ‘Ecofeminsm Maria Mies and Vandana Shiva with A Foreword By Ariel Salleh’ (2014).
Shiva mengajukan buku ini sebagai bentuk kritik dan tawaran perspektif baru. Ia melihat adanya krisis pengetahuan. Krisis pengetahuan itu beruapa reduksionisme dan regenerasi. Adanya konsep dasar yang keliru, yang menyubordinasikan perempuan. Pengethuan yang ada selalu mereduksi keberadaan kaum perempuan dan itu itu terjadi secara turun-temurun, secara regenerative. Sehingga Shiva dan Mies menawarkan perspektif kritis untuk melihat pengetahuan-pengetahuan yang ada, (Shiva, 2014: 22). Poin-poin lainnya adalah pembangunan kehidupan, pencarian akar, ekofeminisme: investasi bidang baru melalui bioteknologi, kebebasan berdagang atau kebebasan untuk bertahan hidup, kebebasan dan liberalisasi. Beberapa tema besar yang seringkali muncul dalam ekofeminisme pada umumnya antara lain, adalah:
Pertama, hubungan antara penindasan perempuan dan perusakan lingkungan. Ekofeminisme berpendapat bahwa penindasan perempuan dan perusakan lingkungan saling terkait dan merupakan hasil dari sistem patriarki dan kapitalisme, (Shiva, 2014:36).
Kedua, dominasi dan eksploitasi. Ekofeminisme mengkritik dominasi laki-laki atas perempuan dan alam, yang dilihat sebagai bentuk eksploitasi dan penindasan, (Shiva, 2014:133-135).
Ketiga, keadilan lingkungan. Ekofeminisme menekankan pentingnya keadilan lingkungan, yang berarti bahwa semua orang, termasuk perempuan, harus memiliki akses yang adil ke sumber daya alam dan memiliki hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat, (Shiva, 2014: 164). Keempat, kedaulatan pangan. Ekofeminisme mendukung kedaulatan pangan, yaitu hak masyarakat untuk mengendalikan sistem pangan mereka sendiri dan mengakses makanan yang sehat dan berkelanjutan. Kelima, kearifan lokal. Ekofeminisme menghargai kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, (Shiva, 2014: 246).
Ekofeminisme mendorong kita untuk melihat hubungan antara perempuan, alam, dan sistem sosial secara holistik dan untuk membangun masyarakat yang lebih adil, berkelanjutan, dan menghormati alam. Perbedaan utama antara ekofeminisme dan feminisme arus utama terletak pada fokusnya. Feminisme arus utama, berfokus pada kesetaraan gender dalam masyarakat, dengan tujuan menghapus diskriminasi dan memberikan perempuan hak yang sama dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan.
Sementara ekofeminisme berfokus pada hubungan antara penindasan perempuan dan perusakan lingkungan, dengan tujuan untuk membangun masyarakat yang lebih adil. Metode untuk mengadvokasi hak-hak perempuan, meningkatkan representasi perempuan dalam politik dan ekonomi, dan melawan kekerasan terhadap perempuan. Mengkritik model pembangunan yang eksploitatif, mendukung kearifan lokal, dan mempromosikan keadilan lingkungan. Hubungan dengan alam umumnya tidak eksplisit membahas hubungan antara perempuan dan alam, menekankan hubungan erat antara perempuan dan alam, dan melihat penindasan perempuan sebagai bagian dari penindasan alam.
Meskipun berbeda fokus, kedua gerakan ini saling melengkapi dan memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan. Ekofeminisme memperluas perspektif feminisme arus utama dengan menghubungkannya dengan isu lingkungan, sementara feminisme arus utama memberikan kerangka kerja untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam konteks isu lingkungan. Ekofeminisme memandang peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan sebagai sangat penting dan unik. Dengan demikian dapat kita simpulkan beberapa poin penting yang terkandung dalam ekofeminisme, yaitu:
Pertama, pengetahuan tradisional. Ekofeminisme mengakui bahwa perempuan memiliki pengetahuan tradisional yang mendalam tentang alam dan pengelolaan sumber daya. Pengetahuan ini berharga untuk membangun sistem pembangunan yang berkelanjutan. Kedua, keadilan lingkungan. Ekofeminisme berkeyakinan bahwa perempuan seringkali menjadi korban pertama dari kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait pembangunan berkelanjutan sangat penting untuk memastikan keadilan lingkungan.
Ketiga, pemberdayaan perempuan. Ekofeminisme menekankan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Memberikan perempuan akses ke Pendidikan, sumber daya, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan akan meningkatkan keberlanjutan secara keseluruhan. Ekofeminisme melihat perempuan bukan hanya sebagai penerima manfaat pembangunan, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat memainkan peran penting dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.
Epilog
Shiva percaya bahwa dengan memberdayakan perempuan dan masyarakat lokal dan dengan mengubah sistem pembangunan bercorak bio-imperialisme yang ada, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih adil, berkelanjutan dan menghormati alam. Teori ekofeminisme Vandana Shiva merupakan kerangka berpikir berupa sebuah konsep yang menggabungkan serta memandang interkoneksi antara etika lingkungan dengan feminisme. Berasal dari kata Sansekerta vand, yang berarti menyembah atau memberi hormat, Vandana merangkum tindakan menunjukkan rasa hormat dan penghormatan terhadap kekuatan yang lebih tinggi.
Shiva meletakkan pilar-pilar pijakan refleksi dan resistensi yang kokoh bagi perjuangan bangsa dunia ketiga, terutama kaum perempuan dan masyarakat adat untuk memperjuangkan nasib bangsa dan tanah air yang sudah, sedang dan akan selalu berada di bawah bayang-bayang kapitalisme dan imperialisme eropa tapi juga Asia dan Afrika. Warisan buah pikiran birbilan seperti demokrasi bumi, keadilan ekologi, ekofeminisme, dan keberlanjilutan sekiranya dapat menambah pundi-pundi berpikir dan praxis yang kaya. Semesta dunia ketiga sedang dikapling-kapling, ibarat kue, para konglomerat dan kaum priyayi-borjuis berlombang-lomba memotong-motong kue tersebut, membagikan di antara mereka. Apa kaum perempuan, mama-mama akan berdiam? Apakah masyarakat adat akan diam? Apakah anak-anak muda, mahasiswa akan berdiam diri melihat mama turun jalan sendiri? Apakah para pejuang, pendekar dan aktivis HAM dan lingkungan akan mengurung diri? Apakah kaum religius, otoritas-otoritas lembaga ideologis, seperti kampus dan agama akan pangku kaki menonton manis pergumulan umatnya ini? Pemikiran Vandana Shiva tentang demokrasi bumi, keadilan ekologi dan ekofeminisme juga perjuangannya sebagai ‘terra mater’ atau demi bumi menjadi undangan bagi kita untuk melakukan sesuatu bagi selamat hajat ibu bumi, rahim kehidupan, rumah kita bersama ini. (*)
Daftar Pustaka:
Shiva, Vandanaa. 1988. Staying Alive: Woman, Ecology, and Survival in India. India: Kali for Women.
——.1993. The Violence of The Green Revolution: Third Wordl Agriculture, Ecology, and Politics. London: Zed Books Ltd
——. 1993. Monocultures of the Mind: Perspective on Biodiversity and Biotechnology. London: Zed Books Ltd
——. 1999. Biopiracy: The Plunder of Nature Knowledge. South end Press: Boston.
——.2005. Earth Democracy: Justice, Sustainability, and Peace. California: North Atlantic Books.
——2014. Ecofeminsm Maria Mies and Vandana Shiva with A Foreword By Ariel Salleh. London: Zed Books
——. 2024. Terra Viva: Kisah Hidupku dan Keanekaragaman Gerakan. Jakarta: Marjin Kiri.
(https://www.oneearth.org/agricultural-hero-vandana-shiva/).
(https://www.pacifica.edu/faculty/vandana-shiva/).
)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filaafat Teologi Fajar Timur, Abepura-Papua.