(Menuju Gereja Sinodal yang Berwajah Kaum Pinggiran: Membaca Juan Carlos Scannone dan Paus Fransiskus)
*Siorus Ewainaibi Degei
Bagian keempat sekaligus terakhir ini akan membahas perbedaan teologi pembebasan dan teologi rakyat, teologi rakyat sebagai teologi kontekstual, teologi rakyat dan model transendental, serta relevansi teologi rakyat bagi Gereja Papua.
Perbedaan Teologi Rakyat dan Teologi Pembebasan
Meskipun teologi rakyat dan teologi pembebasan berakar pada konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Amerika Latin yang sama, namun kita juga tidak bisa menampik potensi-potensi perbedaan sebagai bentuk keunikan dan kekhaasan masing-masingnya berdasarkan fokus, metode, dan tujuan mereka.
Teologi rakyat (teología del pueblo). Pertama, fokusnya lebih menekankan pada partisipasi aktif dan suara masyarakat awam dalam membentuk teologi mereka sendiri. Ini adalah pendekatan bottom-up, di mana teologi muncul dari pengalaman hidup dan interpretasi iman dari dalam komunitas, khususnya yang terpinggirkan.
Tujuan utamanya adalah memberdayakan komunitas untuk memahami dan mengatasi tantangan mereka sendiri melalui lensa iman. Kedua, metodenya melalui proses yang bersifat partisipatif dan kolaboratif, melibatkan dialog dan refleksi bersama dalam komunitas umat. Teologi dibentuk bersama-sama, bukan dijatuhkan dari atas oleh para elit agama. Ketiga, tujuannya, yaitu pemberdayaan komunitas dan transformasi sosial melalui pemahaman iman yang kontekstual dan relevan.
Sementara, teologi pembebasan (liberation of theology), memiliki fokus yang lebih menekankan pada analisis kritis terhadap struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil, dan bagaimana struktur tersebut menindas dan mengeksploitasi kaum miskin dan tertindas. Tujuannya adalah untuk membebaskan orang-orang dari penindasan tersebut.
Kedua, metodenya menggunakan analisis marxis untuk mengungkap ketidakadilan struktural, dan menggunakan teologi sebagai alat untuk menantang dan mengubah sistem tersebut. Seringkali melibatkan analisis sosial dan politik yang mendalam. Ketiga, tujuannya yaitu transformasi sosial dan politik untuk mencapai keadilan dan pembebasan bagi kaum tertindas.
Walaupun keduanya bertujuan untuk transformasi sosial, teologi rakyat lebih berfokus pada proses partisipasi dan pemberdayaan internal komunitas, sementara teologi pembebasan lebih berfokus pada analisis dan kritik terhadap struktur eksternal yang menindas. Teologi rakyat bisa menjadi bagian dari teologi pembebasan, tetapi tidak semua teologi pembebasan adalah teologi rakyat. Teologi pembebasan mungkin menganalisis ketidakadilan struktural, sementara teologi rakyat akan melibatkan komunitas yang terdampak untuk bersama-sama merumuskan tanggapan teologis dan tindakan yang sesuai. Teologi rakyat lebih menekankan pada proses pemberdayaan, sedangkan teologi pembebasan lebih menekankan pada tujuan pembebasan.
Teologi Rakyat sebagai Teologi Kontekstual
Setelah memahami sedikit teologi rakyat, maka dapat kita katakan bahwa teologi rakyat masuk kategori teologi kontekstual. Teologi kontekstual adalah refleksi teologi yang bersumber dari sebuah konteks, ada macam-macam model jika kita mengikuti rumusan Bevans. Ada enam model yang Bevans babak, yakni model terjemahan, antropologis, praksis. Sintesis, transendental, dan budaya tandingan.
Teologi rakyat hemat penulis bisa kita lihat dengan enam model ini, karena variabel-variabel teologi rakyat relevan dengan enam model teologi kontekstual yang Bevans angkat. Jadi, hukum teologi kontekstual berlaku juga bagi teologi rakyat, ia lahir dari refleksi iman atas pengalaman umat. Teologi rakyat, berarti teologi yang datang dari rakyat, dikembangkan juga dengan semangat kekarakyatan dan akan berorientasi pula untuk kepentingan rakyat.
Para teolog rakyat menaruh perhatian besar para suara-suara kaum subaltern, kaum pinggiran, orang-orang miskin, kecil, sakit, tersinggir yang adalah umat Allah, kaum awam yang sudah akrab dengan manis-pahitnya realitas di ruang publik. Kaum religius nir-pengalaman akan realitas destruktif yang rezim-rezim diktator desain. Kaum religius, sudah mapan, mereka dalam klasifikasi masyarakat ada di kelas menengah, bahkan tidak sedikit juga yang bertengker di posisi kelas atas. Sehingga kadang refleksi iman mereka yang termanifestasi dalam kotbah-kotbah, doa-doa, ajaran-ajaran, tulisan-tulisan, dan media perwartaan iman lainnya itu terasa garing, tawar, hambar, tidak ada roh atau daya yang membangkitkan dan menghidupkan semangat dan gairah hidup. Ini jauh berbeda, jika kaum religius mau keluar, mencari umat-umat pinggiran di pojok kota, mereka yang hidup di daerah-daerah kumuh, Gereja menjalin hubungan dialog cinta dengan mereka, Gereja tidak perlu bicara banyak, cukup bicara yang seperlunya, waktu yang banyak donasikan untuk mendengarkan. Menjadi Gereja yang suka mendengarkan dengan telinga tindakan kasih, artinya suara-suara umat itu tidak saja kaum religius dengar dengan telinga kasat mata, tetapi mampu mewujudkannya dalam realitas supaya ada transformasi dan emansipasi umat awam. Jadi, teologi rakyat itu sangat-sangat kontekstual.
Teologi Rakyat dan Model Transendental
Teologi rakyat menurut penulis adalah sebuah teologi kontekstual yang bermodel transendental, walaupun lima model lainnya juga terkandung di dalamnya. Kenapa penulis memilih model transendental? Sebab teologi rakyat bertumpu pada filsafat hermenutika (Teevan, 2005: 13-16) dan tertuju pada transformasi subjek yang bersifat transendental (Teevan, 2005: 45-47).
Seorang teolog rakyat bukanlah sosok yang piawai dalam memainkan teori-teori teologi, seorang teolog akademik, melainkan sosok teolog yang menampilkan wajah rakyat, wajah umat pinggiran. Model transendental dalam teologi kontekstual, lebih menekankan pada tranformasi subjek, si teolog atau orang yang berteologi itu sendiri. Ia bukan orang yang cakap bicara tentang Tuhan, melainkan dia yang cakap berbicara dengan Tuhan, bahkan bisa berpikir, berbicara, dan bertindak/berpastoral/berteologi dengan menggunakan ‘cara Tuhan’, sehingga menyerupai Tuhan sendiri (imago dei, alter cristi).
Ide transendental sendiri lahir dari filsafat Kant. Dalam kamus filsafat Kant, transendental merujuk pada transformasi radikal subjek, artinya berpikir dengan skala pelampauan dari level rendah naik ke level atas. Dalam konteks teologi, Thommas Aquinas adalah tokoh besar yang menggunakan term ini. Ini adalah proses subjektivikasi teologi, mandarah-dagingkan teologi dan itu nampak dalam hidup yang bermakna dan berkulitas.
Banyak teolog kemudian yang mulai melirik konsep transendental sebagai bahan materi dasar mereka dalam merancang bangun konsep teologi mereka. Misalnya, Bernard Lonergan Sj (1904-1984), yang cukup kuat dengan metode teologi transendental ini dalam bukunya ‘Method in Theology’ (1972) . Lonergen melihat bahwa transendental dapat menjadi alternatif metode berteologi yang ramah konteks. Ia tidak membosankan, di mana teolog tampil sebagai yang mahatahu segala pengetahuan teologi. Dengan metode transendental, subjek yang berteologi bukan menjadi guru dalam kata-kata, ketekese, narasi, dan lainnya, melainkan tampil sebagai guru kehidupan, yang mengajarkan tentang Tuhan lewat pikiran, perkataan, dan perbuatan. Membumikan surga, memanusian Tuhan, tampil sebagai imitatio cristi, jadi ada misteri inkarnasi dan inkulturasi yang kuat dalam pengejawantaan metode transendental, (Teevan, 2005:45).
Teolog-teolog pembebasan Amerika Latin, termasuk teolog-teolog rakyat di Argentina, Gera, Tello, dan Scannone hingga Paus Fransiskus tidak mau berbicara tentang siapa itu Tuhan, Yesus, dan Roh Kudus? Apa itu cinta kasih, kerahiman hati Allah, dan pengampunan? Semuanya mereka tampilkan dalam cara berada mereka sebagai manusia, sebagai imam, Uskup, Kardinal, dan Paus. Sehingga orang, umat, dan atau warga global melihat ‘wajah Tuhan’ di balik kehadiran mereka.
Mereka membumikan wajah Tuhan yang ilahi itu, mereka mendekatkan wajah Tuhan yang transenden itu. Dengan jalan teologi rakyat yang bernafaskan model transendental semacam ini umat akan mengalami Allah, bukan saja memahami Allah. Umat bukan saja dapat berbicara tentang Allah, tetapi berbicara dengan Allah. Inilah barangkali yang coba diperjuangkan oleh para bapa teologi pembebasan Amerika Latin, Asia, Afrika, dan belahan dunia lainnya.
Relevansinya bagi Papua?
Teologi rakyat bisa kita gunakan sebagai salah satu model teologi kontekstual-transendental bagi Papua. Keterlibatan dan partisipasi kaum awam mesti menjadi prioritas bersama. Mental klerikalisme buta, yang memandang kaum klerus dan kaum hirarkis sebagai pilar-pilar utama Gereja, rasanya perlu kita evaluasi kembali. Para misionaris sudah menyadari hal ini dengan mendirikan ‘Akademi Teologi Katolik’ (ATK) pada awal tahun 70’an. Tenaga imam untuk wilayah pelayanan yang luas, tentu tidak akan efektif. Sesuai semangat Konsili Vatikan II, di mana Gereja membuka pintu bagi kaum awam untuk terlibat, berjalan bersama dengan semangat dialog dan sinodal, tentu Gereja akan semakin hidup.
Gereja Sinodal memang menjadi tema besar Gereja dewasa ini. Dalam buku ‘Synodality: An New Way of Proceeding In The Churc’ (2022), Rafael Luciani, seorang teolog awam membahas sinodal sebagai model baru Gereja untuk berada di dunia ini. Gereja sinodal adalah Gereja yang terbuka dan mendengarkan, di mana setiap orang memiliki sesuatu untuk dipelajari. Mendengarkan, menata ulang seluruh proses interaksi di antara semua subjek Gerejawi dalam dinamika timbal balik. Dalam model Gereja sinodal ini, para uskup seharusnya tidak mengdengarkan umat Allah tetapi mendengarkan sebagai bagian dari umat Allah. Dan apa yang didengar kemudian harus menemukan saluran dan strtuktur Gerejawi, atau mediasi konkret yang menguhubungkannya dengan reformasi gerejawi.
Buku Luciani memiliki kontribusi yang besar untuk memahami sinodalitas sebagai jalan menuju model Gereja yang baru, (Luciani, 2022: 5-10). Buku Luciani ini juga senyawa dengan buku terbaru Yustinus Prastowo, seorang tokoh awam Katolik Indonesia yang berjudul ‘Konsili Vatikan II, Gereja Yang Mendengarkan: Terus Berubah Tetap Setia’ (2024), yang mengulas bagaimana Gereja terus bergulir dengan arus jaman dan terus relevan dengan jaman yang ada. Buku tersebutkan menghadirkan dua teolog hebat Indonesia, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Uskup Keuskupan Pangkal Pinang sebagai prolog dan Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, Uskup Agung Ende sebagai epilog. Penulis yakin, perlahan namun pasti Gereja Indonesia akan lebih terbuka untuk mendengarkan jeritan umat kecil di ujung kota, umat Katolik Papua misalnya.
Bersyukur juga, sebab Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr. Yanuarius Teofilus Maatopai You bersama umatnya sudah menggusung sinode Keuskupan yang mengambil semangat sinodal sebagai tema besarnya. Ini menunjukkan komitmen Uskup untuk merangkul umat awam untuk berjalan bersama. Berjalan bersama bukan saja bermakna ada bersama, melainkan peran aktif dan kontribusi nyata dari semua umat Gereja harapkan.
Keuskupan Timika, juga sudah memiliki Uskup terpilih, Pastor Bernardus Bofitwos Baru, OSA. Ia adalah rohaniawan agustinian, intelektual terkemuka, dan aktivis HAM. Mantan Ketua STFT Fajar Timur ini akan ditahbiskan oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Piero Pioppo pada 14 Mei 2025 mendatang. Bersamaan dengan itu kita juga bersyukur atas terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost sebagai Paus Leo XIV. Paus Leo XIV, Uskup terpiih Timika, dan Uskup Jayapura sudah menaruh perhatian besar untuk mengambil semangat dialog dan sinodal sebagai sikap pastoral mereka dalam masa-masa kegembalaan. Bayangkan jika Uskup Timika, Uskup Jayapura, Uskup Agung Ende, dan Uskup Pangkal Pinang ‘gabung jurus’ dengan Bapa Suci, Paus Leo XIV? Dan hemat penulis, ini adalah salah satu peluang untuk mengembangkan teologi rakyat atau teologi umat di dan dalam Gereja Indonesia, khususnya Gereja Papua.
Paus Leo XIV, adalah orang dekat almarhum Paus Fransiskus. Tentu sudah pasti bahwa Paus Leo XIV akan melanjutkan dan meningkatkan apa yang sudah para pendahulunya mulai. Paus Leo XIV 20an menjadi misionaris di Peru, Amerika Latin, kampung halaman dari seorang teolog raksasa Amerika Latin, Pastor Gustavo Gutierrez OP.
Penulis yakin bahwa ada relasi yang baik antara Paus Leo XIV dengan Gutierrez, mirip dengan kedekatan Paus Fransiskus dan Pastor Juan Carlos Scannone Sj. Paus Leo XIV, ia adalah orang Amerika Serikat yang benar-benar Amerika Latin, umat kecil di Peru memanggilnya dengan nama ‘orang kudus dari Utara’, itu bisa kita lihat dari sepak-terjang perjalanan imannya. Penulis yakin, bahwa Paus Leo XIV ini juga sedikit-banyak paham tentang teologi rakyat yang lebih ramah, lebih mengumat, dan mampu membumikan iman dan pesan-pesan Injil Allah.
Buktinya nyatanya adalaha bagaimana Paus Leo XIV terbuka untuk mau mendengarkan suara hati bangsa Arfika di Burkima Faso yang berusaha diartikulasikan oleh Panglima sekaligus presiden mereka, Ibrahim Treore. Terlepas dari segala kontroversi yang ada, misalnya orang menuduhnya (Ibrahim Treore) sebagai ‘lenin hitam’, Paus Leo XIV sudah menunjukkan suatu teladan bagi wajah Gereja dewasa ini, yaitu Gereja yang terbuka dan mendengarkan mereka yang kecil, miskin, lemah, tersingkir dan tertindas. Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden SVD bersama lima Uskup yang lain di Regio NTT sudah mendengarkan suara umatnya di beberapa titik yang menjadi sasaran Geotermal, keenam Uskup menolak ide negara menjadikab NTT sebagai ‘lumbung panas bumi’. Uskup Bernardus Baru, Uskup Keuskupan Timika, Papua juga sudah mendengarkan suara-suara umatnya di tempat pengungsian, dan korban Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Selatan Papua. Ini sedikit potret dari pengejawantaan dari spirit, semangat, dan sikap pastoral teologi rakyat. Terbuka untuk mendengarian ‘aku-aku yang lain’ berbicara dan mengartikulasikan dengan posisi yang ada. (*)
Daftar Sumber:
Buku
Bevans, B. Stephen. 2002. Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Penerbit Ledalero Maumere.
Bianchi, C. Enrique. 2019. Theology of the People: An Introduction to the Work of Rafael Tello. New York: The Crossroad Publishing Company.
Rafael. 2016. Pope Francis and the Theology of the People. New York: Orbis Books.
——. 2022. Synodality: An Nee Way of Proceeding In The Churc. Paulist Press.
Recanati. 2019. Filosofia Inculturada: Una Aproximacion a la obra de Juan Carlos Scannone. Argentina: Ediciones del ICALA.
Scannone, C. Juan. 2021. Theology of the People: The Pastoral and Theological Roots of Pope Francis. New York: Paulist Press.
——2005. Religion Y Nueva Pensamiento: Huncia una filosofia de la religion para nuestro tiempo desde America Latina. Mexico: Anthropos.
Teevan, Donna. 2005. Lonergan, Hermeneutics, & Theological Mehtod. Amerika Serikat: Marquette University Press.
Media
(https://www.laciviltacattolica.com/juan-carlos-scannone-and-the-theology-of-the-people/).
(https://www.vaticannews.va/fr/eglise/news/2019-11/deces-juan-carlos-scannone-jesuite-argentine.html).
(https://repository.usd.ac.id/15555/1/3900_teologi+rakyat.pdf).
(https://cerdijnresearch.org/lucio-gera-theologian-of-the-people-and-pope-francis).
(https://jacobin.com/2025/04/pope-francis-catholicism-climate-refugees).
(https://www.pagina12.com.ar/233696-el-profesor-del-papa-francisco).
)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura-Papua.
More Stories
Cinta vs Kekerasan Bersenjata di Dusun Intan Jaya
Rapat Kerja Olahraga KONI Yalimo Berkomitmen Pembinaan Cabor Dimulai Dari Distrik
Nancy Raweyai “Pentingnya Pembangunan Orang Asli Papua (OAP) Berbasis Literasi