20 Juni 2025

DETIK PAPUA

Berita Papua Terkini

(Menuju Gereja Sinodal yang Berwajah Kaum Pinggiran: Membaca Juan Carlos Scannone dan Paus Fransiskus)

*Siorus Ewainaibi Degei

Setelah memahami apa itu teologi rakyat berdasarkan pemikiran Gera, Tello dan Scannone. Bagian ketiga akan memberikan sedikit cuplikan kontribusi Scannone atas pemikiran dan pendekatan pastoral Paus Fransiskus.

Scannone dan Paus Fransiskus

Dalam buku ‘Theology of the People: The Pastoral and Theoloical Roots of Pope Francis’ (2021), Scannone sendiri menjelaskan kedekatannya dengan salah satu murid, sahabat, dan sosok yang dikaguminya Jorge Mario Bergolio, yang kemudian akan menjadi Paus Fransiskus. Selain Scannone, Rafael Luciani, seorang teolog awam Argentina terkemuka yang punya kedekatan harmonis juga dengan Paus Fransiskus menulis dalam bukunya ‘Pope Francis and the Theology of The People’ (2016) menjelaskan perjalanan hidup Puas Fransiskus dan pemikiran teologinya yang banyak bertautan langsung dengan teolog-teolog Argentina, salah satunya adalah Juan Carlos Scannone Sj. Scannone menjabat sebagai dosen di Seminari Yesuit San Miguel, di mana ia menjadi salah satu guru utama Jorge Mario Bergoglio (Paus Fransiskus).  Pengaruh Scannone terhadap pemikiran teologis dan sikap pastoral Paus Fransiskus sangat terlihat, dengan Paus Fransiskus secara eksplisit merujuk pada karya Scannone dalam ensikliknya ‘Laudato si’ (2015). Scannone mengenal Paus Fransiskus secara dekat. Scannone menjadi pengajar teologi bagi Jorge Mario Bergolio. Bergolio masuk seminari pada tahun 1950an, ia belajar teologi, dan sastra kuno. Bergolio melamar sebagai anggota Jesuit, ia kemudian nanti akan menjadi provincial, bos Scannone di Argentina. Setelah itu Bergolio menjabat sebagai rektor kolose, dan pastor paroki di dekat tempatnya tinggal.

Hubungan Scannone dan Bergolio terjalin erat. Bergolio sempat ke Cordoba Spanyol, tapi juga Jerman untuk melanjutkan studi, namun tetap kembali ke Buenos Aires pada tahun 1992. Ia diangkat sebagai pembantu uskup hingga menjadi uskup agung Buenos Aires, kardinal hingga paus dengan nama Fransiskus, kedekatan Scannone dan Bergolio tetap terawat. Scannone adalah rekan diskusi Bergolio yang aman. Keduanya selalu bertukar pikiran seputar konsep teologi, dan metode pastoral yang lebih mumpuni, membumi, mengumat, (Scannone, 2021: 7-10).

Sejak terpilih sebagai Paus Fransiskus, pada Mei 2013 Mauro Castagnaro, wartawan dari majalah II Regno mewawancarai Scannone, guru Paus Fransiskus. Dengan percaya diri, Scannone mengatakan bahwa muridnya nanti akan banyak berbicara seputar kesalehan dan spiritualitas populer yang selama ini mereka pikirkan dan diskusikan bersama, “Ia akan menghargai kesalehan dan spiritualitas populer, terutama pengabdian kepada Maria yang merupakan ciri khas di Amerika Latin” ungkapnya. Bahkan Scannone yakin bahwa Paus Fransiskus akan kental dengan teologi rakyat. Sebuah aliran teologi pembebasan yang khas Argentina. 

Dalam pandangan teologis dan sikap pastoralnya, Paus Fransiskus akan merujuk pada teologi rakyat, Scannone selalu yakin bahwa Paus akan mendukung pilihan yang mengutamakan orang miskin sebagai ruang hermeneutika bagi refleksi teologis dan pastoral Amerika Latin. Di Argentina, Paus membela apa yang Scannone sebut sebagai ‘garis teologi pembebasan Argentina’, yang oleh sebagian orang disebut sebagai ‘teologi rakyat’, dan Scannone berasumsi bahwa Paus Fransiskus akan terus mempromosikannya tanpa mengabaikan orientasi teologis lainnya.

Scannone juga menjelaskan sedikit tentang kedudukan teologi rakyat dalam semangat teologi pembebesan Amerika Latin, “Teologi rakyat ini sama juga dengan teologi pembebasan, karena sama-sama menggunakan metode ‘melihat-menilai-bertindak’. Ini metode yang mengawinkan antara praksis historis dan refleksi teologis serta ilmu-ilmu sosial humaniora sebagai jembatan. Namun teologi rakyat sedikit berbeda, karena menekankan analisis historis-budaya, ia tidak bersandar pada analisis struktur sosial Marxis. Oleh karena itu, alur pemikiran ini menggarisbawahi pentingnya budaya, religiusitas, dan mistisisme populer, sementara pada saat yang sama menegaskan bahwa kaum miskin, dengan spiritualitas tradisional dan rasa keadilan mereka, adalah penafsirnya yang paling autentik dan setia. Refleksi ini mendukung karya pastoral di lingkungan miskin dan villas miserias (kampung miskin)”, (https://jacobin.com/2025/04/pope-francis-catholicism-climate-refugees). 

Tentang teologi rakyat, sudah termuat dalam dokumen San Miguel yang ditulis pada tahun 1969 oleh Komisi Pastoral Uskup (Coepal), di mana Lucio Gera menjadi mentornya. Menurut Scannone naskah dokumen San Miguel adalah sebuah dokumen yang punya pengaruh besar dalam mengubah paradigma pendekatan pastoral dan teologi di Amerika Latin, khususnya di Argentina. Di sana memuat asas-asas dasar prinsip berteologi rakyat, “Ini adalah salah sau teks paling penting dan berpengaruh dalam sejarah Gereja Argentina-jelas Scannone-yang membahas, antara lain, pendekatan populer terhadap kegiatan pastoral, tidak hanya untuk umat, tetapi dimulai dari umat. 

Titik tolaknya adalah bahwa umat Amerika Latin telah dievangelisasi, dan karena itu menyajikan banyak elemen yang bukan ‘benih’, tetapi ‘buah’ dari sabda” Ungkap Scannone. Jadi, spiritualitas umat Argentina adalah katolikisme populer yang autentik, sebab merupakan buah dari sabda. Sementara benih-benihnya adalah keyakinan-keyakinan lokal yang berkembang seperti dalam agama-agama Aborigin atau Afrika-Amerika.

Baik Scannone maupun Bergolio sangat mencintai umat Buenos Aires. Kedekatan dan pengenalan yang berlandaskan cinta ini melahirkan sebuah pola teologi dan pastoral yang khas Argentina. Scannone tidak begitu memakai teologi pembebasan. Teologinya adalah teologi yang lahir dan hadir bersama umatnya. Budaya, tata kebiasaan popular yang ada dalam kehidupan umatnya itulah yang menjadi locus daripada refleksi filosofis tapi juga teologisnya. Oleh Pater Spadaro terlihat bahwa Paus Fransiskus dan Pastor Scannone selalu melakukan pertemuan, diskusi dan debat pada tataran intelektual, (Scannone, 2017: 17-24).

Keduanya sudah biasa begini dalam waktu yang lama.  Jadi, tidak heran bila pemikiran Scannone selalu mewarnai konsep teologis dan praksis pastoral Paus Fransiskus, misalnya dalam Ensiklik ‘Evangeli Gaudium’ (2013). Salah satu yang menonjol dalam diskusi Scannone dan Paus Fransiskus menurut Pastor Spadaro adalah tentang spiritualitas populer. Ini tema yang sangat kuat, Scannone percaya bahwa iman itu selalu terungkap dalam budaya. Ia mencontohkan, sorang anak belajar iman dari kedua orantua, atau para guru, kakek, dan linkungan sekitar. Sehingga Scannone juga percaya bahwa iman semata-mata bukan rahmat transenden dari Tuhan, melainkan tindakan manusia. Manusia berbicara tentang Tuhan dengan cara mereka sendiri, budaya mereka sendiri. Manusia di sini bukanlah objek teologi, melainkan subjek teologi itu sendiri, inilah esensi dari teologi rakyat yang Scannone dan Paus Fransiskus kembangkan, (https://www.pagina12.com.ar/233696-el-profesor-del-papa-francisco).

Sudah menjadi kebiasaan Paus untuk memberikan cenderamata kepada tamu kenegaraan yang datang kepadanya, salah satu yang paling sering ia berikan adalah ensiklik ‘Evangelii Gaudium’ atau ‘Sukacita Injil’ yang ia terbitkan pada tahun 2013. Uniknya, Paus menggunakan kata pueblo (rakyat) sebanyak 164 kali. Paus tidak menerjamhkan kata tersebut ke dalam bahasa Inggris atau Latin, sebab agak sulit menemukan padanan katanya. Dalam naskah terjemahan lain, kata pueblo diterjemahkan sebagai ‘umat Tuhan’, padahal dalam bahasa Spanyol kata pueblo memliki arti berbeda. 

Jadi, Scannone melihat esensi yang mau Paus Fransiskus sampaikan dalam ensiklik ‘Evangelii Gaudium’ akan susah orang mengerti, jika kata pueblo mereka kaitkan dengan populis. Ini kesenjangan yang Scannone lihat antara Paus Fransiskus dan penerjemah-penerjemah berbahasa Inggris. Kata pueblo menurut Scannone merujuk pada bangsa-bangsa, misalnya masyarakat Jerman, Amerika Serikat, Argentina di satu sisi, tetapi juga berkaitan dengan kaum miskin, mereka yang hidup di pinggiran, di wilayah yang padat penduduk, bukan kaum elit suatu negara.

Dalam suatu momen, Pastor Juan Carlos Scannone diwawancarai oleh media crux.  Scannone adalah teolog yang banyak mempengaruhi pemikiran teologi Fransiskus. Ia berbadan pendek, punya pemikiran mendalam tentang ide-ide baru.  Wawancara dengan crux ini mau sedikit mengulas teologi rakyat atau ‘teologia del pueblo’ yang ia perjuangkan dan yang katanya banyak dirujuk Paus Fransiskus itu. Scannone mempromosikan konsep teologi rakyat Argentina para rekan-rekan teolognya yang berbahasa di luar dari bahasa Spanyol, Italia, dan Prancis, namun ia cukup kecewa karena mereka sukar memahaminya. Inilah tantangan yang ia alami sejak 1975. Teologi rakyat tidak liberal atau marxis. 

Para pendirinya di Argentina seperti Pastor Lucio Gera, Rafael Tello, Fernando Baosso, dan Justino O’Farrell tidak menggunakan pendekatan liberal atau marxis. Mereka menggunakan perspektif budaya setempat, perspektif dari umat Allah, “Teologi umat memikirkan Gereja dalam dialog dengan umat” kata Scannone. Teologi rakyat berjuang membangun dialog antara umat Allah, bukan saja hirarki dan umat di bumi, terutama kaum miskin. Sebab di Amerika Latin, rakyat bukan saja terdiri dari barisan umat, melainkan orang-orang miskin yang rentan dan membutuhkan pelukan cinta kasih. Mereka ini tidak berjalan sendiri, selalu ada komunitas yang mereka huni. 

Mereka selalu membangun ikatan komunitas, basis mereka adalah komunitas, sehingga perjuangan mereka adalah sebuah kolegialitas dan kolektivitas guna mencapai kebaikan bersama. Sehingga kekuatan mereka adalah partisipasi, persatuan demi menggapai tujuan bersama. Memori sejarah yang mengantarkan mereka pada kesadaran dan pemehaman serasa dan senasip mengobarkan semangat untuk selalu bersama-sama untuk berkembang dalam komunitas, “Mereka yang melestarikan  budaya, nilai-nilai masyarakat bangsa, adalah orang-orang miskin, orang-orang yang membutuhkan. Karena untuk berkembang mereka perlu Bersatu sebagai sebuah komunitas, mereka mempertahankan gagasan tentang ‘masyarakat’ untuk mencapai kebaikan bersama. 

Oleh karena itu, “kekayaan mereka terletak pada memori sejarah dan proyek untuk semua orang yang berkembang” Ungkap Scannone. Jadi, budaya menjadi sarana yang penting dalam memahami teologi rakyat, “Evangelisasi budaya dan inkulturasi Injil merupakan hal-hal yang penting dalam teologi rakyat, baik sebagai isu teologis maupun pastoral, dan hal ini menjadi perhatian utama Paus Fransiskus.” Kita bisa lihat, Paus Fransiskus menandaskan pentingnya ‘wajah lokal’. Misalnya, Gereja berwajah Amazon atau Gereja yang berbicara dalam dialek setempat, tentang Gereja yang berwajah lokal, Paus Fransiskus berkata, “melibatkan lebih dari sekadar menerjemahkan. Ini tentang membiarkan Injil dilucuti dari pakaian yang indah namun asing; membiarkannya ‘bernyanyi’ dengan musik asli negeri ini dan mengilhami hati saudara-saudari kita dengan keindahan yang membakar hati kita sendiri.” 

Soal Gereja yang berwajah lokal, bukan sesuatu yang baru bagi Paus Fransiskus. Jauh sebelum terpilih sebagai Paus, saat itu ketika posisinya sebagai rektor Colegio Maximo pada tahun 1985, ia menyelenggarakan sebuah pertemuan dengan para uskup dan teolog Amerika Latin, Asia dan Afrika. Scannone menyampaikan, “Ini adalah pertama kalinya kami mengadakan lokakarya di Amerika Latin tentang Inkulturasi Injil.”  Teologi rakyat tentu menjadi topik bahasan di sana. Salah satu tema penting dalam teologi rakyat adalah pertobatan pastoral. Sudah bukan jamannya lagi Gereja berdiam diri, bersikap monoton di tengah-tengah krisis umat. Gereja harus berani untuk pergi keluar, tanpa menunggu, mencari orang, masuk ke tempat-tempat tinggal mereka yang kumuh. Gereja di sini bukan saja kaum hirarkis Gereja, melainkan seluruh umat beriman, termasuk kaum awam.

Tidak berjalan mulus rupanya, sejak lahirnya teologi pembebasan, termasuk juga teologi rakyat selalu mendapatkan pertentangan dari para teolog Barat. Kita tentu paham bahwa tidak semua kardinal sejalan dengan pandangan teologi dan pendekatan pastoral yang Paus Fransiskus usung. Dalam internal kepausaan dan dewan kardinal, Paus Fransiskus mendapatkan kecaman yang bukan main. Ia dituduh sebaga Paus sesat, Paus Marxis, Paus yang menyimpang. Barisan para kardinal konservatif menolak habis-habisan teologi rakyat yang Paus Fransiskus anut. Ketika ditanya bagaimana respon Scannone tentang pihak-pihak yang tidak sepaham dan tidak sejalan dengan Paus Fransiskus, Scannone menjawab bahwa mereka luput dari sejarah, mereka kurang peka membaca sejarah yang melahirkan teologi-teologi Katolik, “Kelompok minoritas yang tidak memiliki mentalitas historis. Kelompok-kelompok ini, mengikuti ajaran Katolik yang tidak berasal dari Yesus dan bahkan dari Abad Pertengahan, tetapi dari Abad ke-19 dan awal abad ke-20. Menurut arus ini memang bagi mereka inilah ajaran Katolik, dan jika Anda tidak berpikir seperti mereka, Anda mengubah tradisi.” 

Jadi, bagi Scannone kelompok yang menentang Paus Fransiskus adalah mereka yang tidak memiliki pemikiran dan pengalaman tentang sejarah. Sebab Paus Yohanes Paulus II sendiri menandaskan bahwa kita membutuhkan kesetiaan kreatif, artinya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan gerak zaman, menjalani realitas yang terus berubah, tanpa mengesampingkan apa yang penting. Tentang pro-kontra antara Paus Fransiskus dan Paus Benediktus XVI, Scannone menjawab bahwa tidak ada yang begitu terjal, keduanya sama-sama Gembala kita, hanya yang membedakan adalah daerah asal mereka, yang satu orang Jerman, kutu buku, dan professor pada banyak Universitas, sementara yang lainnya selalu berada di tengah-tengah umat, apa yang ia buat selalu berasal dari dialog dan perjumpaan dengan rakyat pinggiran ini, (https://cruxnow.com/interviews/2019/11/popes-late-teacher-says-his-concept-of-people-just-doesnt-work-in-english).

Prinsip teologi rakyat Scannone adalah berpihak pada orang miskin dan iman rakyat. Paus Fransiskus mengikuti jejak ini. Budaya menjadi kata kunci sebagai jalan masuk iman. Di Thailand dan Jepang, Paus menegaskan pentingnya budaya, sebab di sana terkandung kuat dimensi ‘evangelii gaudium’. Titik ini membedakan teologi rakyat dengan teologi pembebasan yang berpusat pada analisis marxis yang kadang menampik budaya dan mengecam hal-hal spiritual di dalamnya, bahkan mencapnya sebagai opium atau candu. Dalam budaya roh kudus hadir, membimbing umat pada transformasi injili. Dalam sejarah Gereja kita menyaksikan bahwa, inkulturasi menjadi jiwa yang menghidupkan benih iman di mana saja ia ditaburkan. Bersambung (*).

)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Abepura, Papua.

Loading

Facebook Comments Box