
*Siprianus Sargun
Di abad 19 kita mengenal dua kritikus agama yang amat terkenal, Ludwig Feurbach dan Kalr Marx. Feurbach menyebutkan bahwa agama adalah ilusi. Berhadapan dengan realitas yang kejam, penindasan, orang lalu mencari penghiburan pada tuhan-tuhan palsu, dan kemudian menganggap penindasan itu sebagai suatu yang terberi, dan kelak akan mendapatkan imbalannya di surga. Karl Marx hampir memiliki pemikiran serupa. Bagi Marx, Agama adalah candu yang sengaja diciptakan oleh kaum borjuis, agar orang-orang tertindas “mabuk”, lalu tidak ambil pusing dengan penderitaanya. Gereja, demikian Marx bersekutu dengan kaum borjuis, menciptakan kondisi agar orang-orang tertindas percaya, bahwa penderitaan perlu untuk mendapat surga.
Feurbach maupun Marx, tidak mempersoalkan secara subtantif keberadaan Allah. Yang mereka persoalkan adalah cara orang beragama. Orang yang beragama, tidak boleh hanya peduli pada kebahagian di dunia seberang, tetapi juga peduli pada apa yang ada di depan mata. Penderitaan, penindasan, pelanggaran hak asasi manusia, ekploitasi alam, diskriminasi dst, adalah masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kepedulian terhadap persolan kemanusian adalah ekspresi otentik dari iman kita kepada Allah.
Soren Kierkegaard, seorang filsuf kristen berkebangsaan Dermark, bertanya; bagaimana kita mengenal Allah? Kierkegaard menjawab; Allah tidak dapat disistematisasi, pada teologi-teologi yang super canggih, pada buku-buku, pada para filsuf, tetapi Allah ditemukan pada pengalaman konkrit kita sehari-hari; pada pengambilan keputusan yang menakutkan dan menggetarkan. Jawaban Kierkegaard, memiliki ciri eksistensialis yang kental, dan menurutku sangat individualis. Maklum, eksistensialime Kierkegaard merupakan pemberontakan terhadap dominasi idealisme Hegel yang dianggapnya, mengabaikan pengalaman-pengalaman manusia konkrit.
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/08/20/jalan-intelektual-dan-sensibilitas-bagi-papua-damai/
Apa yang hendak dikatakan oleh Kierkegaard? Pertama, intimitas kita dengan Allah, adalah urusan yang sangat personal, meskipun memang pengaruhnya tetap datang dari komunitas umat beriman. Pengalaman jatuh cinta, penderitaan, memutuskan untuk kuliah S2, atau lansung kerja, mau menjadi pastor, atau awam, dst, pada pengalaman itulah kita berjumpa dengan Allah. Kierkegaard, memberi contoh pengalaman di atas gunung Amori, ketika Allah meminta Abraham menyembelih Ishak, anaknya yang tunggal sebagai persembahan. Pengalaman Abraham di atas gunung Amori itu, sangat personal, hanya dimengerti oleh Abraham dalam hubungannya dengan Allah.
Kedua, Kierkegaard mengkritik segala bentuk hidup beriman yang ikut-ikutan, yang ritual, yang banal, yang artifisial saja. Cara hidup beragama yang ikut-ikutan, hanya sebagai followers, dinamai Kierkegaard dengan the crowd (orang banyak; kawanan). Hidup beriman itu harus mendalam. Religiusitas yang mendalam dilihat dalam daya timbang dan pengambilan keputusan yang matang dalam hidup sehari-hari. The crowd adalah gambaran hidup beriman yang hanya sibuk pada ritual-ritual, pada pakayan, pada keseringan ke rumah ibadat atau tidak, semua itu penting tetapi bukan yang paling pokok, dan sama sekali tidak merepresentasikan kualitas hidup yang mendalam.
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/08/20/penderitaan-orang-papua-bukan-buatan-allah/
Papua tanah penuh konflik, merindukan damai, di mana terang injil sudah sampai ke pelosok-pelosok. Perayaan natal dan paskah, hari minggu gereja-gereja penuh. Singkatnya, tradisi kekristenan atau keagamaan kita di tanah Papua ini sangat kental. Tetapi, apakah iman kita sudah sangat dalam? Apakah iman kita hanya lipstik saja, hanya banal, hanya ritual, hanya yang luar saja? Sejauh korupsi masih merajalela, konflik masing sangat banyak, pelanggaran HAM masih lumrah, rasanya iman kita belum terlalu mendalam. Hipotesa saya adalah, kalau religiusitas kita sudah sangat dalam, Papua akan menjadi damai, sekurang-kurangnya tidak ada korupsi, anggaran otonomi khusus akan tepat sasar, dimanfaatkan dengan baik, dan lain-lain. Pada Kierkegaard kita belajar, bahwa iman kita belum mendalam, kalau memang kita masih mempersoalkan hal yang remeh temeh dan banal saja. Mari bersama Kierkegaard, kita memeriksa cara beriman kita. (*)
)*Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura Jayapura.