
(Refleksi atas Sosial Gereja, Teologis, Kitab Suci, dan Psikoanalis)
*Ekandendi Noverlindo Papua Yawan
Seksualitas merupakan sebuah topik menarik yang tidak pernah habis untuk dikaji. Libido seksual merupakan bagian yang tak terpisahakan dalam diri manusia. Seksualitas secara sempit dapat dimengerti sebagai suatu hubungan genital yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual biasanya dapat terjadi apabila kedua pihak telah memiliki relasi yang intim. Intimasi hubungan tersebut yang memungkinkan sebuah tindakan seksual terjadi. Bagi Freud, seksualitas dapat diartikan lebih luas lagi dari pada sebagai suatu hubungan genital semata. Sebab sedari kecil manusia telah memiliki libido seksual. Seperti keterarahan seksualitas anak laki-laki yang memiliki hubungan khusus dengan ibunya, relasi intim semacam ini ia sebut sebagai “kompleks Oidipus”. Kompleks Oidipus terjadi dalam rana Unconsious Mind (pikiran tak sadar) yang terjadi pada anak usia sekitaran lima hingga enam tahun pertama kelahirannya (K. Bertens :2016). Pada dasarnya suatu relasi seksual mengandaikan jika sebuah hubungan itu memiliki intimasi yang mendalam. Seorang ibu menjadi objek seksual pertama bagi anaknya. Ibu dan anak memiliki relasi seksual pada saat anak tersebut dikandung kemudian lahirkan dan diberikan air susu demi merawat anaknya. Maka seksualitas pertama-tama bukan persoalan hubungan biologis demi perkembang biakan keturunan melaikan sebuah relasi intim, sebuah hubungan erat antara subjek dan objek.
Relasi seksual nampaknya bukan hanya terjadi dalam konteks manusia dengan lawan jenisnya namun lebih luas dari pada itu; manusia dengan alam. Di Papua, hubungan seksual dianggap sebagai suatu hubungan sakral yang suci dan kudus adanya. Dalam konteks perkawinan misalnya harus melewati prosesi adat-budaya yang sakral dan luhur untuk memperkokoh relasi intim bukan hanya di hadapan sesama manusia namun juga di hadapan leluhur dan alam Papua. Dalam hubungan seksual yang terjadi, kompleks Oidipus pada kacamata orang Papua mengalami dua fungsi orientasi pertama, relasi seksual antara mama dan anak, mama memberikan kehidupan kepada anaknya dari kecil hingga ia dapat mandiri. Melalui kasih seorang mama, seorang anak mendapatkan suatu pemeliharan hidup yang layak. Mama memberikan susu demi pertumbuhan anaknya.
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/08/05/berdagang-di-emperan-jalan-simbol-mayoritas-diminoritaskan/
Kedua, bagi orang Papua, tanah merupakan Mama, yang mana sang Mama akan memberikan hidup bagi anak-anaknya. Hubungan seksual yang terjadi antara manusia Papua dan alam bukan tidak mungkin, Mama bumi telah melahirkan manusia-manusia Papua sejak dari mereka lahir. Kompleks Oidipus antara manusia Papua dan alamnya menjadi suatu relasi seksual yang sakral dan intim sejak manusia Papua itu dilahirkan oleh Mama kandung dan Mama bumi. Berhadapan dengan realitas Papua sekarang, relasi orang Papua semakin kacau-balau oleh karena Mama bumi yang telah dikeruk habis-habisan serta peristiwa pertumpahan darah dari hari ke hari. Rentetan peristiwa suram di Papua telah merusak relasi seksual yang sakral antara alam dan manusia Papua. Di mulai dari krisis kemausiaan yang terjadi hingga alam Papua yang kaya dikeruk hingga Papua menjadi miskin hingga banyaknya darah orang Papua yang mengalir. Krisis kemanusiaan dan krisis ekologi melahirkan penderitaan bagi orang Papua dan alam Papua. Ujung dari krisis ini tentu akan merusak relasi seksual manusia Papua dan Mama buminya.
Alam “Bumi” Menurut Kitab Suci dan Dokumen Gereja“Laudato Si”
Menurut sejarah Alkitab bumi sebagai kita dan kita sebagai bumi, manusia berasal dari tanah dan kembali pula ke tanah, maka dari itu kita harus menjaga dan merawatnya secara utuh. Tidak ada yang mau melihat bahwa manusia itu harus mengalami suatu penderitaan terhadap bumi. Kitab Suci Perjanjian Lama, dalam kitab (Kejadian 2: 15) mengatakan “Tuhan Allah mengambil manusia dan menempatkannya di Taman Eden untuk mengerjakan dan memeliharanya. Kalimat ini kita dapat mengimaninya bahwa segala sesuatu yang diciptakan adalah milik Tuhan, milik Tuhan berarti milik manusia, artinya bahwa Allah menciptakan manusia supaya segala sesuatu itu menjadi milik manusia, sehingga manusia dapat menikmatinya dan bahwa kita bertanggung jawab kepada-Nya sebagai pengelola ciptaan.
Terkait alam semesta seperti yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Lama (Kej 1:1) “Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya”. Pada pasal Kejadian 1 ayat 1-31 dan Kejadian ayat 1-7. Pada pasal ini, Kitab Suci (Alkitab) menyatakan bahwa Allah yang menciptakan bumi ini, tepat kita dapat hidup dan bernafas. Kitab Suci melalui kitab Kolose 1:16 kita diberitahu bahwa “Allah menciptakan” segala sesuatu” di dalam dan oleh Yesus Kristus”. Pada dasarnya Kitab Suci, mengajarkan bahwa Yesus adalah pencipta alam semesta, tempat di mana kita dapat melakukan segala sesuatu yang dengan kehendaknya kita diberikan kepercayaan untuk menjaga dan melestarikan alam semesta, melestarikan dan menjaga apa yang Allah telah percayakan kepada kita sebagai manusia. Oleh sebab itu, tugas kita ialah merawat alam yang ada di bumi. Kita mesti ketahui bahwa sesungguh Allah menciptakan kita sebagai manusia di bumi itu adanya maksud dan tujuan tertentu. 21, Hai anakku, janganlah pertimbangan dan kebijaknaan itu menjauh dari matamu, peliharalah itu. Dalam ayat-ayat ini Tuhan mengatakan kepada manusia untuk memelihara alam, bukan merusak atau menghancurkan alam itu sendiri secara perlahan-lahan.
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/07/31/mengapa-kenyataan-terasa-begitu-pahit-hai-tanah-papua/
Patut di sadari bahwa bumi merupakan rumah bersama. Dengan demikian, semua ciptaan yang berada di bumi sebenarnya adalah anggota komunitas yang semuanya hidup saling bergantung. Dr. Samuel Oton Sidin, OFMCap, dalam Hari Study Siding Sinodal KWI, 5-6 November 2012, menulis: bumi itu“Seperti setiap rumah. bumi punya aturan permainan. Makhluk-makhluk tak berakal budi dan semua yang ada dalam kesatuan dengannya, terikat pada hukum alam yang bagi orang beriman diyakini berasal dari Sang Pencipta.”
Sesungguhnya, makhluk ciptaan yang tidak berakal budi, mejalani aturan tersebut seturut nalurinya masing-masing. Makhluk insan, manusia tercipta dengan akal budi, menjadi penanggung jawab utama dalam rumah alam ini. Oleh karena itu, seharusnya manusia memahami hukum alam ini dan bertanggung jawab memelihara serta melestarikannya,bukan merusak alam, misalnya menebang pohon secara tidak benar, membuang sampah secara tidak benar.membuka tambang secara illegal. Seperti apa yang telah dipaparkan di atas terkait hukum alam. Dengan demikian, manusia pun mestinya memperhatikan aturan dan hukum alam itu sebagai sesama warga kehidupan. Dalam hal itu, kesejahteraan manusia mestinya juga menjadi kesejahteraan makhluk lainnya. kesejahteraan tak hanya melulu soal ekonomi, namun kesejahteraan bernuansa ekologis, semua makhluk berada dalam situasi serba kecukupan, tanpa ada yang mendominasi. Semua tunduk sebagai sesama ciptaan dihadapan Sang Pencipta.
Alam/Bumi Menurut Konsili “Laudato Si”
Kompleks Oidpus yang terjadi antara ibu dan anak dapat menjelaskan betapa kuatnya relasi intim antara keduanya. Hal tersebut bernada sama seperti yang telah dilakukan St. Fransiskus dari Asisi., dalam jiwa kosmis Fransiskus dari Asisi. Keberadaan Fransiskus adalah keberadaan yang mengatasi makhluk ciptaan lain. Kesatuannya dengan pencipta memungkinnnya bersikap menghargai dan mengangkat mertabat makhluk ciptaan sebagaimana mestinya.
“LAUDATO SI’ mi Signore”, Terpujilah Engkau, Tuhanku”. Dalam nyanian yang indah ini, Santo Fransiskus dari Asisi mengingatkan kita bahwa, rumah kita bersama seperti saudara yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang menyambut kita dengan tangan terbuka. Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena saudari kami, ibu pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan”.
BACA JUGA : https://www.detikpapua.com/2024/07/17/gandhi-dan-warisan-perjuangan-ahimsa/
Manusia Papua selalu mengalami perubahan terhadap kehidupan mereka. Setelah masuknya pemerintah dan para investor, mama bumi mendapat pengaruh besar dalam hidupnya, seperti hilangnya air bersih, tempat berburu, tempat mencari makan dan lain sebagainya, semuanya ini sekarang tidak ada lagi. Tempat-tempat tersebut dikuasai oleh perusahan-perusahan besar seperti kebun kelapa sawit, tambang emas yang menjalar dimana-mana. Lebih parahnya lagi yang menikmati semuanya itu adalah orang asing dan pemerintah Indonesia sedangkan sang pemilik alam dan kekayaannya menjadi penonton di atas tanah leluhurnya sendiri. Dulunya tanah Papua bagaikan taman Eden sekarang bumi Papua menjadi Babilonia,tempat pembuangan bagi pemiliknya sendiri.
Penutup
Manusia juga makhluk dunia ini, yang berhak untuk hidup bahagia, dan yang terlebih lagi memiliki martabat khusus. Maka mau tak mau kita harus mempertimbangkan bagaimana kerusakan lingkungan, model pembangunan saat ini, dan budaya buang sampah berpengaruh terhadap kehidupan manusia,. Manusia harus sadar bahwa di atas tanah ini, orang mau supaya hidup damai,nyaman tidak mau mengalami namanya kerusakan dan lain-lain.
Kita berasal dari bumi dan kita kembali pula kepada bumi, maka kita adalah berasal dari bumi. Bumi adalah rumah kita, kehidupan umat manusia selalu tergantung kepada alam itu sendiri, alam yang memberi nafas dan hidup. Jika manusia tidak menjaga segala ciptaan, alam akan menderita, maka manusia pun akan mengikuti penderitaan. Oleh sabab itu, urgensitas Papua hari-hari ini adalah harus menjaga dan melestarikan alam ciptaan “bumi” sebagai mama yang memberikan hidup kepada kita. Sehingga relasi intim antara manusia Papua dan Mama Bumi tetap utuh. (*)
)* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi (STFT) Fajar Timur, Jayapura Papua.
Daftar pustaka:
- Bertens, Psikoanalisis Sigmun Freud, (Jakarta:PT Gramedia, 2016)
https:/www.geneva.edu.635273. kamis 23/11/2023
Alex Ben, Laki-Laki Yang Memberikan Segalanya Untuk Mengikuti Yesus, (Yogyakarta: Kanisius, 2014)
Lukas Awi Tristanto, Hidup Dalam Realitas Alam, (Kanisius:Yogyakarta, 2016).