
Di sebuah kampung kecil yang jauh dari keramaian kota, ada dua sahabat yang tumbuh besar bersama. Namanya IPIGAPOKO dan EKEGE. Mereka telah berteman sejak masih di sekolah dasar. Keduanya memiliki mimpi besar untuk bisa meraih sukses dan membahagiakan keluarga mereka. Sejak kecil, mereka sudah berbagi segalanya. Mulai dari mainan karet, cerita, buku tulis hingga cita-cita.
IPIGAPOKO dan EKEGE selalu bersama, dari bangku sekolah dasar, “SD YPPK ST. YOSEPH TILENNMAS PUTAPA” hingga menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas di SMA YPPGI NABIRE tahun 2016-2019. Mereka tidak hanya belajar bersama, tetapi juga sering menghabiskan waktu luang dengan bercanda dan bermimpi tentang masa depan. Setelah lulus SMA, pada tahun 2019. Mereka berdua mencoba melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sayangnya, karena keterbatasan ekonomi, mereka harus rela menunda mimpi tersebut. Mereka pun memutuskan untuk mencari pekerjaan, berharap bisa membantu perekonomian keluarga dan menabung untuk melanjutkan studi suatu hari nanti.
Namun, kenyataan tidak selalu seindah impian. Di kota Nabire itu, pekerjaan tidak mudah didapatkan. Hari demi hari berlalu, tetapi keberuntungan belum berpihak pada mereka. Meski begitu, IPIGAPOKO dan EKEGE tidak pernah kehilangan semangat. Mereka tetap bersama-sama, menjalani hari-hari sulit dengan saling mendukung. Disisi lain, mereka dua ini adalah berlian.
Meskipun masih menganggur, IPIGAPOKO dan EKEGE tidak pernah menyerah. Mereka mencoba berbagai pekerjaan sampingan, dari membantu di kebun kerabat, bekerja di Sp, hingga mencoba berjualan sapu lidi keliling kota seribu kenangan. Mereka tahu bahwa hidup tidak selalu mudah, tetapi selama mereka bersama, mereka merasa kuat. Begitulah kikmahnya.
Pada suatu hari, setelah sekian lama berusaha, EKEGE memutuskan kuliah di luar Papua. Sementara IPIGAPOKO di Nabire masuk PGSD FKIP Uncen Nabire. Ia merasa senang, tetapi juga bimbang. Ia tidak ingin meninggalkan IPIGAPOKO sendiri di Nabire. Namun, IPIGAPOKO dengan tulus mendukungnya dan mendorong EKEGE untuk mengambil kesempatan itu. “Ini adalah jalanmu, EKEGE. Jangan khawatirkan aku. Aku akan tetap berjuang di sini, dan suatu saat nanti, kita akan bertemu lagi dalam kesuksesan,” kata IPIGAPOKO dengan senyum tegar.
EKEGE pun berangkat ke luar Papua dengan doa dan harapan. Di sana, ia melanjutkan kuliah di Metropolitan dan mulai meraih kesuksesan sedikit demi sedikit. Sementara itu, IPIGAPOKO tetap berjuang di sana, mengisi hari-harinya dengan aktivitasnya dan mencari kerja untuk mencukupi kebutuhannya. Meski terpisah jarak, persahabatan mereka tetap erat. Mereka saling berkirim kabar, berbagi cerita tentang suka dan duka yang mereka alami. Kadang baku maki gara gara masalah candaan, kadang pula baku nangis. Walau hanya sesaat kita hanya manusia titipan dari Allah, baginya.
Lambat laun, keberuntungan mulai berpihak pada IPIGAPOKO. Ia berhasil ketitik puncaknya, dia Yudisium. Sebuah usaha dan hasil kerja keras dan mulai mendapatkan gelar “S.Pd” yang cukup untuk keluarganya. Meski tidak berhasil buahnya tetapi kerinduan orangtua sudah berhasil, EKEGE merasa bahagia dengan apa yang ia capai.
Pada suatu sore yang cerah, setelah bertahun-tahun berjuang dan bekerja keras, IPIGAPOKO kembali kabarin EKEGE. Ia membawa kabar baik buat EKEGE dengan membawa kabar baiknya IPIGAPOKO sudah Yudisium dan 22 Agustus 2024 akan wisuda di Jayapura. “Aku sudah berhasil, IPIGAPOKO. Tapi ini semua tidak akan berarti tanpa kamu, EKEGE. Nanti beliau siap bayarkan saya ongkos tiket kapal Nabire ke Jayapura, seperti yang lalu yang beliau sendiri janjikan,” kata IPIGAPOKO sambil menatap EKEGE dengan mata penuh harapan.
Mesti video singkat di WhatsApp, Juli 22, 2024 lalu. Mereka pun merintis usaha bersama, menggabungkan pengalaman dan semangat yang mereka miliki. Perjuangan mereka sudah mau ketitik puncaknya, dan akhirnya, mereka berhasil membangun kehidupan yang layak bagi diri mereka dan keluarga. Terutama SDM yang berkualitas di daerah kampungnya sendiri.
Di tengah kesuksesan itu, EKEGE dan IPIGAPOKO tidak lupa untuk bersyukur. “Susah dan senang kita hadapi sama-sama, kehidupan ini. Tuhan memang selalu bersama kita. Terima kasih Tuhan yang kami sembah, Engkau telah mengatur nasib kami dengan begitu indah,” kata EKEGE sambil menatap langit. EKEGE mengangguk, merasa damai dalam hati. Mereka tahu bahwa segala sesuatu yang mereka lalui, baik suka maupun duka, adalah bagian dari rencana Tuhan yang sempurna. Tuhan terima kasih atas semua Ini.
“Selamat jalan, sahabatku.”
****
Di sebuah kota seribu kenangan di Nabire, ada seorang pemuda bernama IPIGAPOKO. Beliau adalah anak yang ketiga dari sebuah keluarga sederhana. Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang ceria dan penuh semangat. Mimpinya besar, dan ia percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di tanah rantau, akhirnya IPIGAPOKO mencapai momen yang paling dinantikannya: wisuda.
Wisuda IPIGAPOKO serta rombongannya akan diadakan di Jayapura pada tanggal 22 Agustus 2024 dan ia sangat bersemangat untuk menghadiri acara tersebut. Namun, masalah muncul ketika IPIGAPOKO menyadari bahwa ia tidak memiliki cukup uang untuk perjalanan ke Jayapura. Jayapura, tempat yang jauh dan membutuhkan biaya besar untuk dicapai, seolah menjadi tantangan terakhir sebelum ia dapat meraih gelar sarjana yang diimpikannya.
“Satu malam dua hari, perjalanan Nabire ke Jayapura. Dengan biaya makan minum sekaligus fasilitas lainnya akan dibutuhkan nanti dari Jayapura.”
IPIGAPOKO tidak menyerah. Ia mulai meminjam uang dari teman-teman dan kerabatnya. Salah satu sahabat terbaiknya, EKEGE, yang tinggal di Pasundan, berjanji akan membantunya. “Kamu punya ongkos kapal Nabire—Jayapura? Saya juga ada pinjam-pinjam ke orang, jadi paling besok atau lusa saya akan kontak beliau,” kata IPIGAPOKO penuh harap saat berbicara dengan EKEGE melalui telepon.
Namun, waktu terus berlalu, dan uang yang dibutuhkan belum juga terkumpul. IPIGAPOKO terus berusaha, berharap akan ada keajaiban yang membantunya mencapai Jayapura. Ia bahkan sudah membayangkan saat mengenakan toga, berdiri di atas panggung, dan menerima ijazah dengan bangga. Dalam hatinya, IPIGAPOKO yakin bahwa ini adalah langkah terakhir sebelum ia bisa membahagiakan keluarganya.
“Namun, kenyataan berkata lain.”
****
Pada malam sebelum IPIGAPOKO berangkat, sebuah musibah terjadi. Musibah yang tidak bisa ditundahkan. IPIGAPOKO mengalami sakitnya di usus buntu. Sakit yang luar biasa sakit dan akhirnya keluarga memutuskan untuk bawa ke RSUD Siriwi. Setelah 2-3 hari kemudian sakit tersebut semakin parah, maka IPIGAPOKO harus operasi sakit yang begitu tak tertolong selama beberapa hari terakhir ini.
IPIGAPOKO musibah saat ia sedang berusaha mencari tambahan uang untuk perjalanan Nabire ke Jayapura. Jahitan luka-luka operasi yang dideritanya sangat parah, dan meski sudah didoakan oleh pendoa, nyawanya tidak bisa diselamatkan. IPIGAPOKO berpulang ke pangkuan Sang Pencipta, meninggalkan mimpi dan harapan yang belum sempat terwujud.
Kabar tentang kepergian IPIGAPOKO menghancurkan hati banyak orang, terutama sahabatnya, EKEGE “sahabat segalanya”. Ketika EKEGE mendengar berita itu, hatinya seolah runtuh. Ia tidak bisa membayangkan bahwa sahabat yang selama ini selalu bersamanya dalam suka dan duka, kini telah pergi untuk selamanya. Tuhan kali ini saja tolong jangan ambil nyawa sahabatku, IPIGAPOKO.
Pada hari yang seharusnya menjadi hari wisuda IPIGAPOKO, EKEGE hanya membayangkan angan-angan pergi ke lingkungan Uncen yang lagi “happy congratulations” berfoto model di tengah lautan manusia.
Dibawah bukit Sunda dengan membawa sepucuk kertas putih. Ia berdiri di sudut kota Metropolitan, menatap keindahan alamnya yang membentang luas dan membukit menjulang tinggi, mengingat setiap momen yang telah mereka lalui bersama di kampung halaman. Dengan suara bergetar, ia berbisik, “Selamat jalan, sahabatku. Aku tahu, kamu sudah berusaha sekuat tenaga. Mungkin Tuhan punya rencana lain untukmu, rencana yang lebih indah di sana.”
EKEGE melemparkan sepucuk kertas putih itu ke atas langit, membiarkan angin membawanya pergi, seolah mengirimkan pesan terakhir kepada IPIGAPOKO di alam sana. “Nantikan kami di Firdaus, IPIGAPOKO. Kami akan selalu mengenangmu dan berusaha melanjutkan mimpi-mimpi yang kita bangun bersama. Sampai kita bertemu lagi, sahabatku.”
Alam pun tenang, seakan memahami kesedihan EKEGE. Dalam keheningan itu, EKEGE merasakan kehadiran IPIGAPOKO, seperti senyumnya yang selalu menyemangati. Gigi depannya ompong, kentara sekali saat beliau lagi senyum ini agak malu-malu karena giginya sudah tidak ada. Ia tahu bahwa meski IPIGAPOKO telah tiada, semangatnya akan selalu hidup dalam hati setiap orang yang mencintainya.
Dan di langit yang cerah, seberkas cahaya melintas, seolah mengirimkan salam terakhir dari IPIGAPOKO kepada mereka yang ditinggalkannya. Di sana, di tempat yang lebih baik, IPIGAPOKO telah menemukan kedamaian abadi.
“Takdir di kampung Putapa.”
****
IPIGAPOKO adalah seorang yang dikenal oleh semua orang di kampung Putapa. Biasa di sapa dengan Pak guru muda, beliau salasatu anak yang kini jenjang pendidikan tinggi di Universitas Upp S1 PGSD Nabire. Setelah tamat beliau kembali ke kampung halamannya untuk mengajar bermain bersama adik-adiknya. Ia tumbuh besar di kampung kecil itu, di mana hamparan keladi, kacang tanah, tebu dan pepohonan hijau menjadi pemandangan sehari-hari. Beliau adalah anak yang cerdas dan rajin, selalu bersemangat belajar meskipun kondisi keluarganya serba kekurangan. Ia memiliki mimpi besar untuk bisa meraih pendidikan tinggi dan suatu hari nanti kembali ke kampungnya untuk mengabdi sebagai guru.
Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan di kota seribu kenangan, akhirnya IPIGAPOKO mencapai puncak usahanya. Tanggal 22 Agustus 2024 adalah hari wisudanya, hari di mana ia akan resmi menyandang gelar sarjana pendidikan. Keluarga dan seluruh warga kampung Putapa bangga padanya, mereka menantikan kepulangan beliau yang akan menjadi kebanggaan kampung dan membawa perubahan bagi anak-anak di sana.
Ia sendiri sudah lama bertekad untuk kembali ke kampungnya setelah wisuda. Ia ingin mengabdikan diri sebagai guru honorer di SD tempat ia dulu menimba ilmu. IPIGAPOKO selalu berkata, “Setelah wisuda, aku akan kembali ke Putapa. Anak-anak di sana butuh pendidikan yang baik, dan aku ingin memberikan itu kepada mereka.” Impian itu yang membuatnya tetap semangat, meskipun banyak tantangan yang harus ia hadapi selama masa kuliahnya.
Hari wisuda tiba, hari ini, Agustus 22, 2024 dan IPIGAPOKO berdiri dengan bangga di atas panggung, mengenakan toga dan menerima ijazahnya. Ia tersenyum lebar, membayangkan masa depan yang cerah di kampung halaman. Setelah acara selesai, beliau segera mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk kembali ke Putapa. Ia ingin segera memulai pengabdian yang telah lama ia rindukan.
“Namun, takdir memiliki rencana lain.”
****
Di perjalanan menuju Jayapura, IPIGAPOKO mengalami musibah yang tak bisa dibantah. Operasi yang ia musibah hingga tak tertolong oleh pihak rumah sakit bahkan dari pendoa. Beliau, yang penuh dengan harapan dan cita-cita, tidak sempat mencapai kampung halamannya. Ia meninggal di Blud RSUD Nabire, meninggalkan duka mendalam bagi keluarganya dan seluruh warga Putapa. Terutama EKEGE “sahabat kecilnya beliau”.
Berita tentang kepergian beliau sampai ke kampung Putapa dengan cepat. Warga yang telah menunggu kedatangannya dengan penuh antusias tiba-tiba harus menerima kenyataan pahit. Mereka kehilangan seorang pemuda yang menjadi kebanggaan kampung, seorang yang bertekad untuk mengabdikan hidupnya demi masa depan anak-anak Putapa.
Hari itu, langit di kampung Putapa tampak muram. Keluarga, bahkan kerabat berkumpul di rumah orang untuk memberikan penghormatan terakhir. Ibu beliau menangis dalam kesedihan yang mendalam, sambil memeluk mayat putranya di kampung halaman. Ayahnya hanya bisa diam di alam sana, menatap kosong ke arah jalan yang seharusnya dilalui oleh beliau saat pulang dengan berita duka yang mendalam.
Di tengah keheningan, seorang tetua kampung berbicara dengan suara berat, “IPIGAPOKO adalah kebanggaan kita semua. Meskipun ia tidak sempat kembali untuk mengabdi, semangatnya akan selalu hidup di kampung ini. Kita akan meneruskan cita-citanya dengan mendukung pendidikan anak-anak kita, seperti yang diinginkan IPIGAPOKO.”
Para keluarga, sanak saudara/i dikampung mengangguk setuju. Mereka berjanji untuk menjaga semangat beliau tetap hidup, untuk terus berjuang demi pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Meski beliau telah pergi, impiannya tidak akan pernah mati.
Hari itu, diiringi EKEGE tangis dan doa, IPIGAPOKO dimakamkan di tanah kelahirannya, di bawah pohon besar/Pumadome yang menjadi saksi bisu masa kecilnya. Angin berhembus lembut, seolah membawa pesan dari IPIGAPOKO bahwa meskipun raga telah tiada, cintanya pada kampung Putapa akan selalu abadi.
Selamat jalan, beliau. Kami akan terus mengenangmu dan melanjutkan perjuanganmu. Nantikan kami di Firdaus.
“Nasib EKEGE setelah IPIGAPOKO pergi.”
****
EKEGE duduk termenung di bawah pohon besar di tepi lautan selatan, para bisikan angin sepoi-sepoi pun menerpa wajahnya, tapi tak mampu mengusir kesedihan yang menyesakkan dadanya. Kabar kepergian beliau tiba-tiba menghantamnya seperti badai, menghancurkan harapan dan impian yang telah mereka bangun bersama sejak kecil.
IPIGAPOKO adalah segalanya bagi EKEGE—seorang sahabat, saudara, kerabat, nak-degei, dan sumber inspirasi. Mereka tumbuh bersama di kampung yang sederhana, berbagi mimpi dan cita-cita di bawah langit Putapa yang luas. IPIGAPOKO yang disapa pak guru, ia selalu memiliki tekad kuat untuk meraih pendidikan tinggi dan kembali ke kampung untuk mengajar anak-anak, sementara EKEGE, meski tidak secerdas IPIGAPOKO, selalu bermimpi untuk ikut merasakan perubahan yang akan mereka bawa ke kampung ini.
Namun, kehidupan tidak selalu adil. IPIGAPOKO berhasil meraih mimpinya, ia kuliah dan akhirnya diwisuda hari ini alam sana, sebuah pencapaian yang membuat EKEGE bangga sekaligus merasa tertinggal. EKEGE, di sisi lain, terjebak dalam kenyataan pahit hidup di tanah Metropolitan, dengan segala keterbatasan dan tantangan yang membuatnya merasa seperti gagal. Ia hanya bisa pasrah kepulangan IPIGAPOKO di alam sana, berharap kepergian sahabatnya akan memberikan motivasi baru untuk memperbaiki nasibnya sendiri.
Ketika EKEGE mendengar bahwa IPIGAPOKO pulang untuk selamanya dan dia tidak akan pulang setelah wisuda untuk mengabdi di kampung, ia merasa ada gagal dalam persahabatan dan suatu harapan yang Tuhan ambil alih dalam Hidupnya. “Ketika semuanya pulang, kita tidak bisa bersama lagi, mungkin aku bisa belajar darinya dan perlahan-lahan memperbaiki hidupku,” pikir EKEGE dengan penuh harap.
Kali ini Tuhan ambil alih, mau bilang Tuhan kenapa ambil nyawa beliau juga ia berhak, tapi kenapa Tuhan menitipkan dia di dunia ini. Padahal hidup hanya sementara. Entahlah takdir berkata lain. IPIGAPOKO tidak akan kembali. Musibah tragis itu merenggut nyawa sahabatnya, meninggalkan EKEGE dengan rasa kehilangan yang mendalam. Ketika kabar duka itu sampai, EKEGE merasa seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Semua harapan dan mimpi yang ia gantungkan pada IPIGAPOKO tiba-tiba lenyap, meninggalkan kekosongan yang tak terkatakan.
Hari-hari setelah kepergian beliau terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung bagi EKEGE. Ia terus teringat pada rencana-rencana yang mereka buat bersama, pada janji-janji yang kini tidak akan pernah terwujud. “Kenapa harus IPIGAPOKO? Dia adalah harapan kita semua, kenapa harus dia yang pergi?” EKEGE bertanya-tanya dalam hatinya, tanpa jawaban.
Di bawah pohon besar itu, EKEGE menangis. Air matanya mengalir deras, menyatu dengan tanah yang menjadi saksi bisu persahabatan mereka. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menemani IPIGAPOKO dalam perjalanannya. “Aku seharusnya ada di sana, mendukungmu, membantumu mewujudkan mimpi kita, beliau. Tapi sekarang, aku hanya bisa berdiri di sini, meratapi nasibku yang gagal.”
Kehilangan beliau membuat EKEGE semakin terpuruk. Ia merasa tidak ada lagi alasan untuk berjuang, karena satu-satunya orang yang selalu memberinya kekuatan kini telah tiada. EKEGE mencoba melanjutkan hidup, tapi bayangan IPIGAPOKO selalu menghantuinya, mengingatkannya pada semua yang tidak bisa ia capai.
Namun, di tengah kesedihannya, EKEGE mendengar suara beliau dalam angin yang berhembus lembut, seolah sahabatnya itu masih ada di sisinya, menyemangatinya untuk bangkit. EKEGE, kamu tidak sendiri. Jangan menyerah. Lanjutkan apa yang kita mulai. Aku mungkin sudah tiada, tapi kamu masih bisa melanjutkan perjuangan kita.”
Suara itu membuat EKEGE tersadar, bahwa meskipun beliau telah pergi, semangatnya masih hidup dalam dirinya. EKEGE tahu bahwa ia tidak boleh terus-menerus terjebak dalam rasa bersalah dan kesedihan. Ia harus bangkit, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengenang beliau.
Dengan tekad yang baru, EKEGE memutuskan untuk mengambil alih mimpi sahabatnya. Ia mulai fokus dalam perjalanan panjang di kelak nanti, dan konsisten melanjutkan aktivitas pada komunitasnya. Meskipun tidak mudah, EKEGE terus berusaha, membawa semangat IPIGAPOKO dalam setiap langkahnya.
EKEGE tahu bahwa ia mungkin tidak akan pernah bisa menggantikan beliau, tetapi ia juga tahu bahwa sahabatnya itu pasti bangga melihatnya berjuang. “Aku akan melanjutkan mimpi kita beliau. Aku akan melakukan yang terbaik, untukmu, untuk kita, dan untuk kampung ini,” bisik EKEGE dengan air mata yang kembali mengalir, kali ini bukan karena kesedihan, tetapi karena tekad yang baru.
“Beliau malam yang ke-enam dan wisuda di alam sana.”
****
Hari ini, Kamis, 22 Agustus 2024. Di bawah gubuk kaki gunung bukit Sunda, sore itu, EKEGE duduk tenang sambil mengamati suasana yang perlahan-lahan berubah. Angin lembut berdesir di antara dedaunan, membawa aroma tanah basah dan rerumputan. Matahari mulai tenggelam di balik gunung Sunda di ufuk pantai selatan, meninggalkan jejak keemasan di langit yang mulai berwarna jingga. Suara gemericik air dari sungai kecil di dekatnya menambah keheningan yang damai.
Pikirannya masih melayang pada IPIGAPOKO, sahabat yang baru saja pergi meninggalkannya. Mereka telah berbagi banyak cerita dan tawa disana, di bawah gubuk tua HAGAWAGE yang telah menjadi saksi persahabatan mereka selama bertahun-tahun. Namun, kini IPIGAPOKO sudah pergi, mengejar mimpi yang lebih besar di alam sana.
Kali ini EKEGE menarik napas dalam-dalam, merasakan kesunyian yang tiba-tiba memenuhi hatinya. IPIGAPOKO adalah sahabat terbaiknya, orang yang selalu ada di saat suka maupun duka. Tapi EKEGE tahu, setiap pertemuan pasti akan diakhiri dengan perpisahan, dan begitulah siklus kehidupan.
Di kejauhan, burung-burung mulai terbang kembali ke sarang mereka, menandakan hari yang hampir berakhir. EKEGE mencoba mengalihkan perhatiannya dengan mengamati pemandangan di sekitarnya. Sawah yang hijau menghampar luas, dengan petani yang mulai menutup hari mereka setelah bekerja keras seharian. Anak-anak kecil berlarian di pematang, tertawa riang tanpa beban.
Namun, di balik ketenangan sore itu, EKEGE merasakan kekosongan yang tak bisa dihilangkan dengan mudah. IPIGAPOKO bukan hanya sahabat, tapi juga tempatnya berbagi mimpi dan harapan. Kini, dia harus belajar menghadapi hari-hari tanpa kehadiran sahabatnya itu.
Waktu terus berjalan, dan kegelapan mulai merayap. EKEGE tahu bahwa dia tak mungkin pulang, meninggalkan gubuk ini dan kembali ke kehidupannya yang biasa. Namun, dia memutuskan untuk tinggal sebentar lagi, menikmati sisa-sisa hari bersama kenangan yang tersisa.
Sambil menatap langit yang semakin gelap, berbisik dalam hati, “Selamat jalan, IPIGAPOKO. Semoga kita bertemu lagi suatu hari nanti di alam sana, di bawah alam yang sama.” Dengan perasaan yang campur aduk, dia berdiri dan perlahan meninggalkan gubuk itu, membawa serta kenangan indah bersama sahabatnya. (*)
)* IPIGAPOKO adalah sahabat Willem Dudai, sedangkan EKEGE adalah HCD. Kedua nama tersebut samaran pada waktu SD yang dinamai oleh Ibu guru Rosa Degei. Arti dari IPIGAPOKO yang berarti samaran yang tidak tahu apa apa dari “buta huruf ” kosong isi otaknya seperti pagar yang sudah lapuk. Sedangkan EKEGE adalah otaknya sama seperti batu yang tidak bisa dipecahkan oleh barang apapun.