
(Dalam Luapan Gerakan Tungku Api Kehidupan)
*Dominikus Wakerkwa
Padangan negara terhadap tanah Papua adalah tanah yang penuh dengan kekayaan alam berupa emas, mur, nikel dan tambang lainnya. Dengan melihat sumber daya alam yang berlimpah, para kaum kapitalisme mengunakan berbagai cara untuk menarik perhatian terhadap masyarakat asli mengunakan tawaran-tawaran yang mudah diterima. Awal mereka masuk dengan cara yang baik. Kemudian, sesudah mereka memperoleh apa yang diharapkan, mereka mengunakan tindakan kekerasan, serta tindakan yang megacu pada ketidakadilan. Semua yang dilakukan oleh para kapitalis adalah demi kepentingan para investor koorporasi ekstraktifisme, perusahan dan saham yang mereka bangun, kepentingan pribadi dan juga negara. Namun sebelumnya, mereka akan membangun pendekatan kemudian memberikan tawaran berupa uang, jabatan, serta barang yang bisa menarik perhatian masyarakat asli Papua. Hal tersebut dilakukan sesudah mereka mengamati kelemahan yang bisa menjadi laur masuk mereka. Dengan melihat kelemahan yang mudah mempengaruhi tadi, maka mereka mudah sekali mendapatkan apa yang diinginkan. Melalui penawaran berupa uang dan jabatan, maka masyarakat adat setempat tidak memikirkan jangka panjang tetapi justru melepaskan semua hak milik mereka kepada pihak perusahaan mapun kepada pihak pemerintah. Dengan demikian, tanah, hutan dan laut yang menjadi hak hidup dan warisan leluhur masyarakat asli semua terjual habis dan diambil ahli oleh para penguasa. Maka, Gerakan Tungku Api Kehidupan merupakan semacam sebuah “seruan” untuk mengajak kepada semua pihak masyarakat asli Papua agar supaya menjaga dan melindungi, merawat dan meleastarikan apa yang seharusnya menjadi hak milik mereka.
Berdasarkan hasil penelitian yang dapat ditemukan bahwa “Tanah Papua adalah rumah bagi 274 suku orang asli Papua, mereka telah menduduki pulau New Guinea selama kurang lebih dari 40.000 tahun, jauh sebelum penjelajah Eropa pertama menemukan pulau tersebut. Namun dengan sekarang, penduduk asli menjadi salah satu kelompok yang paling lemah di Papua dalam menghadapi marjinalisasi sistematik karena akibat perluasan industri ekstraktif, proyek pembangunan dan transmigrasi.” Tidak dapat dipungkiri bahwa di tanah Papua juga mengalami peristiwa yang serupa dimana transmigrasi telah terjadi besar-besaran demi kepentingan para investor dan hal ini perlu menjadi perhatian bersama terutama masyarakat adat Papua, tokoh-tokoh intelektual, tokoh perempuan, tokoh gereja dan intitusi yang terkait dengan alasan bahwa peduduk asli telah menjadi kaum minoritas dari total populasi di Papua. Kependudukan di pusat-pusat kota khususnya di wilayah pesisir dan pegunungan secara demografis didominasi oleh masyarakat pendatang yang berasal dari wilayah Indonesia lainya. Sementara sebagian besar peduduk yang tinggal di dataran tinggi dan terpencil adalah masyarakat adat Papua. Perubahan secara demografis terjadi basar-besaran di Papua, sehingga kegelisahan, kecemasan menghadirkan rasa takut dari pihak asli Papua terhadap para kapitalis yang mengambil ahli atas hak hidup mereka kemudian memberikan tekanan yang kuat terhadap masyarakat Papua atas sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik masyarakat asli. Untuk merebutnya kedua pihak menimbulkan pro-kontra. Namun hasil akhirnya para investor dapat mengambil ahli yang menjadi sektor kehidupan bagi masyarakat asli setempat. Dengan demikian, peduduk asli Papua tersingkir karena faktor ekonomi yang tidak mejamin, lapangan kerja, dan administrasi yang semakin dikuasai oleh para migran. Maka ketidakpuasan masyarakat adat Papua terhadap situasi hak asasi manusia dan marjinalisasi terus meningkat, seingah memperbesar keinginan mereka untuk merdeka secara politik.
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/08/14/wanita-cantik-asal-papua-direbut-kapitalisme/
Tanah Papua merupakan tempat yang cukup menarik bagi investor nasional dan internasional. Pemerintah daerah dan berbagai lembaga negara yang berperan sebagai fasilitator bagi insvesor telah gagal melindungi kelompok masyarakat adat dari perampasan tanah yang terjadi. Perusahan mengunakan berbagai cara untuk meyakinkan para pemegang hak tanah adat untuk melepaskan tanah leluhurnya. Strategi itu termasuk melakukan kecurangan, melanggar janji, menciptakan konflik horizontal di dalam masyarakat adat, dan intimidasi oleh pihak ketiga. Pada umumnya, para investor ini seringkali dilindungi oleh aparat kemanan negara, seingah dapat menakutkan masyarakat adat untuk bersikap tindakan keras diatas tanah adatnya sendiri.
Perampasan Tanah Adat
Tanah Papua telah lama dan masih menjadi target bagi banyak perusahan dan investor yang beroperasi dibidang perkebunan kelapa sawit, industri kayu, pertambangan dan perkebunan hutan. Aktivitas perusahan di Papua pada umumnya difasilitasi oleh Pemerintah Indonesia dan didukung oleh TNI dan Polri. Pada setiap proyek investasi skala besar di Papua memiliki banyak dampak yang merugikan terhadap lingkungan dan situasi atas tanah peduduk orang asli Papua. Konversi area hutan menjadi perkebunan sawit atau perambahan hutan dan area pertambangan yang dapat menyebabkan hilangnya tanah leluhur bagi banyak masyarakat adat. Dampak dari akibat itu masyarakat adat menghadapi tingkatan masalah kemiskinan makin membengkak.
Dengan alasan mengejar target atas pembangunan saham di tanah Papua, perampasan tanah adat tidak akan pernah berakhir sebebelum Pemerintah Indonesia memenuhi semua target setihap pembangunan yang diprogramkan. Untuk memenuhi target itu akan ada banyak tawaran yang masuk terhadap masyarakat asli Papua dengan alasan demi mesejahterakan, tawaran yang sering menonjol adalah dalam berupa uang, jabatan dll. Tetapi tawaran tersebut hanya bersifat sementara untuk memenuhi semua target pembangunan industri di tanah Papua. Dengan setihap tawaran yang masuk terhadap masyarakat asli Papua selalu ditolak, karena bagi masyarakat Papua tanah adat sebagai ‘ibu’ yang menjamin kehidupan sehari-hari, maka orang Papua selalu mengatakan bahwa “kami bisa hidup tanpa uang tetapi tidak bisa hidup tanpa tanah.” Terkait dengan tanah adat ini juga perna disinggung oleh Almahrum Mgr Jhon Philip Saklil Pr, Uskup Keuskupan Timika menyatakan demikian: “Orang Papua tidak bisa hidup dari hasil jual tanah tetapi hidup dari hasil olah tanah.” Dan juga filosofi orang Papua bahwa tanah sebagai ibu yang mana memberi kehidupan, akan tetapi melihat kenyataan hidup dewasa ini kesakralitas tanah sebagai ibu tidak mencanankan dalam diri orang Papua itu sendiri. Kini tanah diperjualbelikan demi kepentingan ekonomi dan politik. Dengan demikian, apakah realita ini terus dibiarkan? Tentu “TIDAK”. Tindakan ini menghancurkan eksistensi manusia yang hidup di atas tanah ini sehingga perlu ada sosialisasi yang membangun kesadaran dari setiap individu, keluarga, suku, kelompok besar maupun kecil, komunitas dan lebih luas lagi dalam kalangan masyarakat umum supaya ada kesejajaran antara manusia dan alam ciptaan. Dengan demikian, kelangsungan hidup manusia akan terjamin baik dari hasil yang dikelolah dari sumber alam guna menunjang kelangsungan hidup manusia secara teratur.
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/08/12/perempuan-cantik-di-papua/
Untuk mengatasi tingkat kemiskinan, hendaknya orang asli Papua perlu bekerja dilahannya sendiri. Ketika orang bekerja di tanah dan dusun miliknya sendiri, mereka akan merasakan bahwa sesunggunya kehidupan itu ada di sana. Jika ada tanah dan dusun sendiri, maka tungku api akan terus menyala setiap saat. Ketika tungku api menyala maka ada kehidupan dan mereka tahu bahwa makanan telah tersedia di rumah seperti: ubi, keladi, sayur-sayuran, buah-buahan berupa ketimun, buah padang (kelapa hutan), jagung, air (tebu), kemudian daging babi hutan dan kus-kus. Semua itu disediakan oleh alam. Dengan demikian, orang akan duduk bersama dalam suasana hati yang tenang dan merencanakan program kerja jangka panjang maupun jangka pendek untuk mewujudkan masa depan agar menata hidup yang lebih baik. Oleh karena itu, bagi orang asli Papua tanah dan dusun dipandang sebagai tali pusat bagi setiap suku bangsa yang menghuninya, dimana kita mengetahui bahwa dengan adanya tanah dan dusun maka setiap saat dapat menghidupkan dan menjamin kelangsungan hidup manusia yang hetrogen untuk bertahan hidup dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar diseluruh muka bumi di masa kini dan di masa yang mendatang.
Tinjauan Prolog dari Gerakan Tungku Api
Pada tahun 2017 almarhum Mgr. Jhon Philip Saklil, uskup keuskupan Timika, merancangkan gerakan pastoral baru yang disebut sebagai Gerekan Tungku Api Kehidupan. Gerekan ini bertujuan melakukan perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat asli Papua. Gerekan ini dilatarbelangkangi oleh potret kemiskinan masyarakat pemilik hak ulayat akibat pertambangan penduduk di wilayah perkotaan, masuknya investor yang mengambil alih pengelolaan kekayaan alam dalam bentuk usaha pertanbangan yang hanya menyisakan tailing bagi masyarakat asli Papua. Sedangkan di wilayah Papua lainnya, terlihat jelas investor perkebunan yang semena-mena membabat hutan sagu dan menggantinya dengan sawit, dan juga menjadikan tempat pengelolahan industri kayu, dan sebagainya. Di lain pihak, masyarakat lokal seolah-olah memperlakukan rawa dan hutan mereka sebagai lahan tidur yang tidak produktif, dan dengan mudah terpengaruh untuk melepaskan diri dari hak ulayatnya untuk menjual lahan dari warisan leluhurnya. Oleh sebab itu, Mgr. John menegaskan kepada umat katolik agar menjadi tanah warisan leluhurnya sebagai tungku api yang terus menyala dan memberikan kesejahteraan bagi keluarga, masyarakat dan seluruh suku bangsanya.
Uskup Keuskupan Timika, Mgr, John Philip dalam arahan umum rapat pimpinana keuskupan Timika, pada 13 Februari 2017, antara lainnya juga pernah mengatakan: “lebih baik tidak punyah uang dari pada tidak punya dusun. Gerakan melingdungi dan mengelola sumber hak hidup ekonomi masyarakat lokal menjadi gerakan bersama semua pihak yang peduli. Dusun yang dilindungi dan dikelolah dapat menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup. bukan sebaliknya uang dari hasil penjualan dusun.”
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/08/06/seksualitas-oap-dan-mama-bumiseksualitas-oap-dan-mama-bumi/
Dalam pengunaan istila “tungku api” yang berati api yang menghidupi, khususnya didapur yang menjamin kehidupan dalam pengelolahan bahan mentah menjadi masak agar bisa diambil dan makan untuk dapat mengilankan rasa lapar dalam kehidupan rumah tangga dan bagi semua masyarakat di sekitarnya. Demikian pula tanah, masyarakat asli yang memiliki tanah adat dalam kehidpan sehari-hari akan merasakan bahwa disana ada kehidupan yang terjamin. Masyarakat asli Papua akan merasa damai dan nyaman ketika ada tanah leluhurnya, sedangkan hidup tanpa tanah kegelisahan pun akan terus meningkat dan seolah-olah tidak ada keselamatan di tempat itu bagi mereka, dan terjadilah permusuhan antara suku dan permarga sesama mereka sendiri.
Sepanjang tahun sesudah kemeredekaan West Papua pada tanggal 1 Desember 1961 sampai tahun 2024, terlihat adanya aspirasi politik dan keinginan untuk menentukan nasib sendiri terus meningkat. Peningkatan ini berkaitan erat dengan semakin kecilnya ruang gerak yang diberikan kepada masyarakat adat dalam mendapatkan kebebasan, dalam hal memperoleh ijin untuk memanfaatkan tanah para leluhur dan sumber daya di dalamnya. Di sisi lain, keinginan untuk menentukan nasip sendiri semakin besar karena rendahnya komitmen pemerintah dalam menciptakan solusi penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua. Pada masa era Orde Baru dibawah pemimpin Presiden Soeharto, pemerintah Indonesia telah menerapkan konflik basis militer daripada strategi alternatif kekerasan. Disamping itu, pelangaran HAM yang masih sering terjadi dan meluasnya impulitas semakin mendorong aspirasi masyarakat adat Papua untuk mendukung intervensi internasional, seperti dengan terbentuknya Gerakan Pembebasan Papua Bersatu yang terus berproses ingah sampai saat ini. (*)
)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) “Fajar Timur” Abepura – Jayapura- Papua.
Sumber
- Biru Kira, 2022. Peletak Dasar Keuskupan Timika. Yogyakarta: PT Kanisius Angota Ikapi.
- Benyamin Magay, 2020. Problematika Perdamaian dan Pastoral Kemanusiaan di Keuskupan Timika. Depasar – Bali: Pustaka Larasan.
- Kalisi Internasinal “Hak Asasi Manusia di Papua”, 2017.