Oleh: Melianus Duwitau, Aktivis Masyarakat Adat Intan Jaya, Papua Tengah , 3 November 2025
Intan Jaya, Papua Tengah —Kabupaten Intan Jaya, sebagai salah satu wilayah adat yang paling kaya secara budaya dan spiritual di Papua Tengah, kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, masyarakat adat—terutama Suku Moni dan Wano—masih menjaga tatanan sosial dan hukum adat yang telah di wariskan secara turun-temurun. Di sisi lain, tekanan dari konflik bersenjata dan ekspansi investasi ekstraktif seperti pertambangan di Blok Wabu mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Sebagai aktivis masyarakat adat dan putra asli Intan Jaya, saya, Melianus Duwitau,
menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan—baik di tingkat lokal, provinsi, maupun nasional—untuk segera mengambil langkah konkret dalam melindungi hak-hak masyarakat hukum adat melalui kebijakan yang adil, partisipatif, dan berbasis kearifan lokal.
1. Urgensi Perlindungan Masyarakat Adat di Tengah Konflik
Sejak 2019, Intan Jaya telah menjadi salah satu titik panas konflik bersenjata antara aparat negara dan kelompok bersenjata. Data Amnesty International (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 70% masyarakat terpaksa mengungsi dari kampung halamannya, dan sejumlah tokoh adat menjadi korban kekerasan, termasuk Kepala Suku Musa Kobogau. Konflik ini tidak hanya menciptakan trauma kolektif, tetapi juga menghancurkan struktur kelembagaan adat yang selama ini menjadi pilar ketertiban sosial.
2. Investasi Tanpa Persetujuan: Pelanggaran Prinsip FPIC Rencana eksploitasi tambang emas Blok Wabu oleh PT Antam dan PT Inalum telah memicu penolakan luas dari masyarakat adat, khususnya mahasiswa Moni yang tergabung dalam IPMMO se-Jawa dan Bali, karena proses konsultasi Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang seharusnya dilakukan tidak pernah dijalankan secara bermakna, membuat masyarakat merasa diabaikan dan dipinggirkan dari pengambilan keputusan terkait tanah ulayat mereka. Kekecewaan mendalam ini, ditambah dengan dugaan pelanggaran HAM berulang dan ketidakpastian keamanan yang terus-menerus, mencapai puncaknya pada Oktober 2023 di Kabupaten Intan Jaya, Papua, dengan digelarnya aksi besar-besaran bertajuk “Rakyat Bergerak” yang menuntut pengusutan tuntas kasus-kasus tersebut serta penarikan pasukan TNI/Polri non-organik dari wilayah mereka. Di garis depan perjuangan, tokoh masyarakat adat Barto Mirip memimpin Tim Tiva Maipa sebagai juru bicara resmi aspirasi masyarakat, didukung oleh solidaritas mahasiswa IPMI-Jayapura dan Forum Independen Mahasiswa yang turut menggelar aksi serupa di Kota Jayapura.
Menanggapi tekanan publik yang memuncak, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Papua kemudian membentuk Panitia Khusus (Pansus) Intan Jaya yang dipimpin Henes Sondegau, S.T., dengan mandat untuk menyelidiki dan mencari solusi atas konflik berkepanjangan tersebut, menandai sebuah gerakan kolektif kuat yang melibatkan masyarakat adat, mahasiswa, dan lembaga legislatif dalam upaya bersama menuntut keadilan dan perdamaian yang berkelanjutan di Intan Jaya.
3. Kelembagaan Adat: Pilar Ketahanan Sosial yang Terancam Kepala Suku dan Dewan Adat bukan hanya simbol budaya, tetapi juga aktor penting dalam tata kelola sosial, penyelesaian sengketa, dan pengambilan keputusan kolektif. Namun, situasi keamanan yang tidak kondusif telah melemahkan fungsi mereka. Musyawarah adat untuk pengangkatan kepala suku, pelaksanaan upacara adat, dan kegiatan pertanian kini terganggu. Tanpa penguatan kelembagaan adat, masyarakat akan kehilangan arah dan identitasnya.
4. Rekomendasi Strategis: Dari Kajian Menuju Implementasi
Berdasarkan kajian akademis yang telah saya susun, berikut adalah rekomendasi utama yang harus segera di implementasikan:
a. Perdasus Provinsi Papua Tengah:
● Perdasus Perlindungan Masyarakat Adat dalam Situasi Konflik, termasuk pembentukan zona aman adat.
● Perdasus Tata Kelola Investasi di Wilayah Adat, dengan skema FPIC yang
mengikat secara hukum dan pembagian hasil minimal 20% untuk masyarakat adat.
b. Perdasi Kabupaten Intan Jaya:
● Perdasi tentang Rekonstruksi Kelembagaan Adat Pascakonflik, termasuk pengangkatan kepala suku ad interim dan alokasi dana rehabilitasi rumah adat.
● Perdasi tentang Moratorium Pertambangan, hingga seluruh wilayah adat di petakan dan di lindungi secara hukum.
c. Aksi Lintas Sektor:
● Pembentukan Tim Gabungan Pemetaan Wilayah Adat, melibatkan Kementerian LHK, MRP Papua Tengah, dan Dewan Adat Moni.
● Pembentukan Task Force Penyelesaian Konflik, dengan mandat langsung dari Presiden RI.
5. Seruan Moral dan Politik
Saya menyerukan kepada:
● Gubernur Papua Tengah dan Bupati Intan Jaya untuk segera membentuk Tim Kerja Bersama yang melibatkan tokoh adat, akademisi, dan LSM dalam penyusunan Perdasus dan Perdasi.
● DPR Papua Tengah dan Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk memprioritaskan pengesahan Perdasus tentang masyarakat hukum adat sebelum akhir 2025.
● Pemerintah Pusat untuk meninjau ulang pendekatan keamanan di Intan Jaya dan menggantinya dengan pendekatan dialog dan pemulihan.
6. Penutup: Harapan dari Tanah Leluhur
Tanah ini bukan sekadar ruang geografis, tetapi ruang spiritual dan sosial yang di wariskan oleh leluhur kami. Kami tidak menolak pembangunan, tetapi kami menolak pembangunan yang meminggirkan kami. Kami tidak anti-investasi, tetapi kami menuntut investasi yang adil, transparan, dan menghormati hak-hak adat kami.
Jika negara sungguh-sungguh ingin membangun Papua secara berkeadilan, maka Intan Jaya harus menjadi titik awal dari perubahan paradigma: dari pembangunan yang eksploitatif menuju pembangunan yang partisipatif dan berakar pada kearifan lokal.
Kami tidak meminta belas kasihan. Kami menuntut keadilan!
![]()

More Stories
DPR Papua Pegunungan Fransina Daby Buka Seminar dan Salurkan Bantuan ke Mahasiswa Jayawijaya di Jayapura
YKKMP Kencam Tindakan Main Hakim Sendiri Oknum Anggota Kodim 1702 Jayawijaya Di Duga Pelaku Terhadap Almarhum Frengki Kogoya
Masyarakat Puncak Apresiasi Kepemimpinan Elvis Tabuni: Tetap Bertahan di Tengah Konflik, Tidak Tinggalkan Warga