9 November 2025

DETIK PAPUA

Berita Papua Terkini

Membaca itu Siapakah? I

(Meretas Misteri Ilmu, Mengungkap Jalan Pencerahan)

*Siorus Ewainabi Degei

Status Quaestionis

Kita barangkali tidak asing dengan aktivitas yang bernama “membaca”, pasalnya kita semua pasti punya pengalaman bersentuhan langsung dengan kiat ini. Sebagai pribadi-pribadi yang sudah mengenyam pendidikan dari strata paling bawah sampai atas, bahkan yang belum sekalipun tentu kita selalu dengan berpapasan pada suatu makhluk yang bernama “membaca”. Itu berarti secara paling minimal tentu kita memiliki segudang pengetahuan atau informasi terkait apa itu membaca? Atau membaca itu apa?

Pertanyaan ini sudah sangat lazim kita dengarkan. Pertanyaan ini sudah terlalu familiar, di balik pertanyaan tersebut ada sebuah tuntutan penjelasan yang sifatnya deskriptif dan kadang-kadang eksplanatif. Melalui pertanyaaan apa itu membaca kita mendapatkan tuntutan untuk memberikan jawaban eksplanatif tentang definisi proses membaca itu sendiri, siapa yang melakukannya, kapan waktu yang tepat untuk membaca, di mana tempat yang strategis untuk membaca dan bagaimana metode atau tata cara yang baik dan benar untuk membaca?

Dalam tulisan singkat ini kita tidak akan banyak bergulat dengan pertanyaan apa itu membaca? Melainkan lebih filosofis dan kritis dari sebuah pertanyaan yang hanya menagih kulit luar dari suatu proses pencaharian ilmu yang luas dan abadi itu. Kita akan mengajukan satu pertanyaan yang “jarang” dilontarkan orang kebanyakan ihwal aktivitas membaca, yaitu membaca itu siapa? 

Ada beberapa gagasan filosofis penting yang bermukim di balik pertanyaan tersebut tapi sebelum itu kami hendak membeberkan cuplikan singkat sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, dalam hal ini filsafat, agar kita memiliki semacam trem of reference untuk mengulik fakta-fakta pelik seputar kiat membaca dari dulu hingga kini, sehingga masa depan dapat kita songsong dengan penuh antusiasme positif-kritis. Sumber yang kami gunakan adalah dua tulisan dari Dr. Setyo Wibowo yang berjudul ‘Filsafat Yunani Kuna: Platonisme’ (19 Maret 2019) dan ‘Sejarah Filsafat Yunani Kuna: Sofisme’ (12 Marer 2016). Tulisan Romo Wibobo sendiri berasal dari kuliah filsafat yang ia berikam pada sesi kuliah umum komunitas salihara (salihara art center) tentang sejarah filsafat Yunani Kuno (sofisme dan platonisme) pada 12 Maret 2016 dan 19 Maret 2019 di Serambi Salihara, (https://youtu.be/ Kelas Filsafat).

Beberapa pandangan kami dalam tulisan ini sejatinya bukan hal baru sebab dapat kita jumpai “tapak-tapaknya” dalam sejarah peradaban pemikiran sejak zaman Yunani Kuno sampai dewasa ini oleh kebanyakan filsuf mereka sebut sebagai zaman post-truht, yaitu zaman ketika kebenaran itu tidak lagi menjadi episentrum perdebatan ilmiah maupun non-ilmiah, sebaliknya yang menjadi penting di era ini adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang atau sekelompok orang dalam suatu keyakinan-keyakinan palsu yang tampil sebagai “kembaran hitam kebenaran sejati”. Demokrasi terguling, muncul viralkrasi ke permukaan wacana publik.

Phusikoi

Pertama, zaman phusikoi, berasal dari bahasa Yunani dengan kata dasar phusis, nature (Latin) dan nature (Inggris), artinya sesuatu yang tinggal tetap (alami, natural). Zaman ini muncul pada periode 800-400 SM, yaitu zaman di mana para pemikir awal yang memusatkan perdebatannya pada soal-soal phuisis; alam semesta, realitas, jiwa, para dewa. Bukan di Athena, melainkan di Miletos,  sebuah kota di Ionia, di Asia Minor (kecil). Di jaman ini para pemikir bukan orang-orang “kutu buku”, mereka adalah perenung-perenung alam semesta, dari mereka lahir ilmu pengetahuan bertema besar ontologi (filsafat tentang ada); kosmologi, astronomi, geografi, geometri, dan matematika. Tokoh-tokohnya antara lain; Thales 637-547 SM (air), Empedokles 482-424 SM dan Anaximandros  610-547/576 SM (ketakterbatasan/apheiron), Anaximenes 585-525 SM (udara), Phytagoras 570-495 SM (jiwa), Xenophenes 570-480 SM (Tuhan), Heraikleitos 540-480 SM (api), Parmenides 540-470 SM (ada), Demokritos 460-371 SM dan Leukippos 480-420 SM (atom), dll, (https://faisaleffendi04.wordpress.com/2016/05/11/belajar-filsafat-yunani-kuno-part-1/, 24/02/2024).

Sofisme

Kedua, era sofisme/relativisme, berasal dari bahasa Yunani Sophos (bijaksana), dalam bahasa Inggris sophistical atau sophisticated (canggih). Zaman ini muncul sekitar abad 450-380 SM di Athena. Sofisme merujuk pada aliran filsafat dan retorika pada periode Yunani klasik serta helenistik, sering disebut “kembaran hitam” dari filsafat. Jika filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari kebenaran, kebijaksanaan dan kebajikan dalam hidup, maka sofisme tidak mempedulikan kebenaran, yang ia pusingkan hanyalah kemenangan dalam debat, keindahan dalam orasi atau retorika dan semua itu demi keuntungan material (uang, jabatan, pasangan idaman dll). Tokoh-tokoh sofisme itu antara lain, Thrasymakhos 459-400 SM (hukum adalah buatan pemimpin yang kuat), Glaukon 445-400 SM (hukum adalah buatan orang lemah), Protagoras 490-420 SM (man is the measure of all things; manusia adalah ukuran segala sesuatu), Gorgias 483-375 SM (art of persuasion;  cara untuk membujuk orang), Plato dan Aristoteles (melawan kaum sofisme; telos; tujuan mulia, logos; akal budi, dan sophisqurie; pintar berbicara untuk menipu), (https://faisaleffendi04.wordpress.com/2016/08/03/mengenal-sofisme/, 24/02/2024).

Abad Pertengahan

Ketiga, abad pertengahan (abad 5, renaisans dan abad 13), slogan abad ini adalah “philosophia ancilla theologiae” atau “filsafat adalah hamba dari teologi”, ciri khasnya antara lain; adanya dominasi agama Kristen (Gereja Katolik) dalam filsafat (teologi), pemikir filsafatnya kebanyakan berasal dari komunitas rohaniwan (Usukup, Imam, Pimpinan Ordo, dan lainnya), mengawinkan iman dan akal budi. Muncul filsafat skolastisme yang bercorak dogmatis, teologis-agamis, epekulatif, metafisis, dan lainnya. Tokoh-tokoh pemikir filsafat skolatis itu seperti St. Agustinus (Plotinos), St. Thommas Aguinas (Aristoteles), St. Bonnaventura, St. Anselmus dan lainnya.

Modernisme

Keempat, modernisme (abad 17), slogan zamannya adalah “cogito ergo sum” atau “aku berpikir maka aku ada” dari Decartes sebagai bapak filsafat modern atau “sapere aude” (beranilah berpikir mandiri) dari Immanuel Kant yang menutup abad pertengahan yang menurut mereka sangat spekulatif, takhayul, singkatnya irasional, sehingga mereka merancang satu metode berpikir yang baru, yaitu rasionalisme, kemudian muncul lagi empirisme dan positivisme, di mana segala sesuatu itu benar dan ada sejauh itu rasional atau sanggup dijelaskan oleh akal budi dengan bukti-bukti yang empirik (pasti), jika tidak, umpamanya Tuhan seperti di abad pertengahan maka, sesutu itu (Tuhan) Ia tidak nyata dan ada, Ia tidak benar karena tidak rasional. 

Postmodernisme

Postmodrenisme, aliran filsafat ini biasa disebut juga dengan istilah “anak kandung” sofisme, sebab corak keduanya sama-sama relatif, tidak ada lagi kebenaran metanaratif dan munculnya ketidakpercayaan atau daya kritisisme yang meluas, di jaman ini kebenaran tidak lagi dilihat sebagai sesutau yang singular atau satu/tunggal, melainkan suatu kebenaran memiliki banyak rupa yang beragam/jamak, bahkan akal budi atau rasio bukan lagi menjadi satu-satunya jaminan kebenaran, dengan munculnya teknologi canggih, temuan-temuan memukau di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat kebenaran versi para filosof, apalagi teolog menjadi sesuatu yang sangat mubasir. Tokoh-tokoh postmodernisme adalah  Jean Francois Lyotard, Michael Foulcault, Jacques Derrida,  Jean Baudrillard dan Fredrick Jameson.

Post-truht

Keenam, post-truht, “anak potsmodernisme dan cucu sofisme”, kebenaran sudah tidak dipersoalkan lagi, melainkan bagaimana cara meyakinkan orang atau massa untuk percaya suatu bungkusan bahasa yang dibenarkan itulah yang menjadi episentrum (titik pusat) perdebatan pemikiran. Tidak ada demokrasi, yang ada hanyalah viralkrasi, tidak ada akal moral atau moral akal, yang ada dewasa ini adalah akal-akalin elektoral. Siapa yang viral, naik daun, punya banyak followers di tik-tok, facebook, Instagram, X-com (dulu twetter), dan platfrom digital lainnya ialah yang sanggup mengengam dunia, barangkali inilah konspirasi global para pelopor “homo deus” atau “manusia tuhan” atau “manusia pencipta” bukan lagi “homo sapiens” atau “manusia pencari”.

Kurang lebih demikianlah beberapa lintasan panjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, setiap masa memiliki corak pembacaannya sendiri yang khas. Kini saatnya kita mulai mengupas beberapa gagasan penting di balik pertanyaan Membaca itu Sipakah? Atau sipakah itu membaca? Bersambung (*)

)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura-Papua.o0

Loading

Facebook Comments Box