
(Berburu Wajah Sang Bunda Ilahi di Pafisik Melanesia)
*Siorus Ewanaibi Degei
Pada bagian keempat sekaligus terakhir dari tulisan dengan topik refleksi mariologis kontekstual West Papua ini akan menampilkan dua hal besar, pertama pembahasan seputar apa yang kami maksdukan dengan “Mater Orientalis Aurora” atau “Mama Fajar Timur” dan kedua berkaitan depan penutup yang akan memberikan sedikit catatan kritis. Dari dua vision sebagaimana yang terungkap dalam tulisan bagian ketiga, satu dari seorang imam, teolog, filsuf, psikolog, penulis produktif dan pengasuh anak yatim yang mistiskus juga dari seorang mama asli Papua yang hari-harinya dipenuhi dengan doa kami berani menegaskan bahwa bunda Maria di Papua berwajah “Perempuan Asli Papua yang Sejati”, namun di sini kami mau menyebutnya dengan sapaan atau julukan khas sebagaimana yang terpampang pada Goa Maria Buper, Waena, Jayapura, West Papua, yakni “Mama Fajar Timur”, kebetulan setelah menerjamhkannya ke dalam bahasa Lantin, jadinya adalah Meter Orientalis Aurora.
Kenapa Meter Orientalis Aurora?
Penyebutan dan penyifatan Bunda Maria versi umat katolik asli Papua, yakni “Mama Fajar Timur” atau Meter Orientalis Aurora bukan tanpa dasar. Sebagaimana juga yang sudah kami bahas di atas terlihat bahwa setiap pribadi atau kelompok sejak zaman lampau, mulai dari abad ke 12 hingga kini (abad 21), yang memiliki relasi intim harmonis dengan Bunda Maria dalam doa-doa, novena dan devosi selalu mempunyai julukan atau sapaan khas. Julukan atau sapaan khas kepada Bunda Maria tersebut tidak datang dari suatu referensi dan refleksi iman yang kosong, di sana selalu ada cerita, pengalaman, peristiwa-peristiwa ajaib atau mujizat-mujizat menawan yang amat sangat bersifat eksistensial-historikal, dan ini punya nilai-nilai teologis yang mampu memperkaya pundi-pundi refeleksi mariologis Gereja universal.
Misalnya penyebutan “Bunda Yang Lemah Lembut” (Eleusa), “Petunjuk Jalan” (Hedegetria), “Takhta Kebijaksanaan” (Sedes Sapientiae), Madonna, “Bunda Yang Menyusui”, “Maria Yang Berbelaskasihan” (Mater Misericordiae), “Kemuliaan” (Maesta), La Mondanna della Febbre (Bunda Pelerai Demam), “Perawan Yang Melahirkan Allah” (Virgo Deipara), “Kepiluan” (Pieta) atau “Bunda Yang Berduka Cita” (Mater Dolorosa), Tuan Ma di Flores Larankuta, dan lain sebagainya. Tentunya masih banyak lagi penyebutan dan penyifatan Bunda Maria yang unik dan khas dalam atmosfer hidup beriman kaum kristiani di dunia, tidak ketinggalan umat Katolik asli di West Papua. Perlu kami tegaskan bahwa julukan Bunda Maria versi umat katolik asli Papua yang kami berikan, yakni Mater Orientalis Aurora atau “Mama Fajar Timur” ini sifatnya debatable atau diskursus.
Pertama, arti dan makna ‘Mama’ (mater). Kata ‘Mama’ ini dipilih bukan tanpa alasan, sejatinya ia lebih akrab, dekat atau familiar dalam konteks kehidupan umat katolik asli Papua di Papua ketimbang sebutan ‘Ibu’ atau ‘Bunda’ sebagaimana yang kebanyakan terdapat dalam teks-teks teologi mariologis berbahasa Indonesia. Sapaan ‘Mama’ ini selalu orang Papua utarakan sejak mereka kecil hingga mencapai usia ringkih, misalnya ketika mereka mengalami keadaan warming, keadaan bahaya, jatuh, terpleset, sakit dan sebagainya, selain Nama ‘Yesus’, satu nama yang tak pernah luput dari mulut mereka itu adalah ‘Mama’, misalnya ada yang terpleset atau jatuh lalu secara tidak sadar mengatakan ‘Mama…’, atau ‘ado Mama’, ‘sioo mama’, ‘mama sayang eee’, ‘ah pele mama’, ‘maa ee’, ‘mama waee’ dan sebagainya.
Baca juga: https://www.detikpapua.com/2024/07/08/mater-orientalis-aurora-i/
Ungkapan-ungkapan tak sadar yang sudah terekam kuat dalam alam bawah sadar orang asli Papua sejak kecil ini menjadikan mereka sebagai “anak mama”. Mereka tidak mungkin mengeluarkan kata ‘ibu’ atau ‘bunda’, apalagi ‘bapa’ atau ‘ayahanda’ saat sedih, sakit, cemas, lucu, menangis, marah, dan lainnya, misalnya “ado ibu”, “sioo bunda”, “ah ibu”, ‘bapa’, dan ungkapan-ungkakapan sejenisnya, mustahil sekali kata-kata ‘ibu’ atau ‘bunda’ keluar dari mulut mereka, sekali lagi hanya kata atau nama ‘mama’ saja yang memiliki ikatan intimitas emosional yang kuat lagi mendalam dalam setiap jiwa manusia katolik asli Papua, karena itu kami tidak menggunakan kata atau nama ‘ibu’ atau ‘bunda’ untuk menyebut dan memanggil nama Maria di bumi Pasifik Papua, melainkan ‘mama’.
Kedua, arti dan makna ‘Fajar’ (aurora). Fajar berarti sinar, cahaya, ini simbol kemuliaan, kekudusan, kebaikin tertinggi. Fajar merujuk pada sinar mentari pagi, mentari pagi secara teologis juga filosofis memiliki arti dan makna yang luhur. Dalam cakupan teologis sinar mentari sering dipersonifikasikan sebagai kehadiran Allah, penyelenggaraan Allah yang menghidupkan. Sinar mentari pagi memberikan kehidupan bagi semua mahkluk hidup. Allah identik dengan cahaya yang menyilaukan, sebagai Ratu Surga yang mendampingi Bapa, Putra dan Roh Kudus, “Mama Maria” juga berkilau cahaya, bermandikan fajar pagi yang merona. Pakaiannya, tatapannya, senyumannya, paras wajahnya, tubuh mistiknya memancarkan cahaya fajar ilahi yang berkilau-kilau abadi. Alasan lainnya, karena dalam setiap vision yang dialami oleh umat katolik asli Papua, Mama Maria selalu hadir dengan penuh cahaya ilahi, tempat yang tadinya gelap gulita seketika juga menjadi terang benderang, ia selalu membawah pelita terang ilahi, menghadirkan cahaya kehidupan di mana saja ia tampakkan “wajah berliannya”.
Ketiga, Timur (orientalis). Timur ini merujuk ke tempat, suatu wilayah tempat di mana matahari pertama kali terbit. Timur di sini merujuk ke wilayah Pasifik Melanesia mencakup Papua. Kami memakai timur untuk membedakannya dengan wilayah Barat, Selatan dan Utara. Dalam cara berpikir juga, terutama dalam filsafat dan teologi ada dua arus besar yang menjadi kiblat refleksi, di satu sisi ada kubu Barat dan di sisi lainnya ada kubu Timur. Jadi, kata Timur di sini mau menegaskan tentang kekhasan dan keunikan filsafat dan teologi di bumi Pasifik Melanesia Papua guna mengendus atau menganulir dominasi dan hegemoni konsep-konsep Barat yang kadang eksploitatif dan alinenatif.
Baca juga: https://www.detikpapua.com/2024/07/08/mater-orientalis-aurora-ii/
Keempat, Yesus sebagai “Fajar Timur”. Dalam banyak refleksi para teolog arus Timur, Yesus senantiasa digambarkan sebagai “Fajar Timur”, Ia dari Negeri Timur Tengah, membawa kabar gembira yang adalah “terang ilahi” atau “cahaya Allah” itu ke segala penjuru Bumi guna menerangi dunia dari kegelapan maut dan noda dosa. Karena Yesus adalah “Sang Fajar Timur”, maka Bunda Maria juga selalu dapat kita diimani sebagai “Mama Fajar Timur”.
Penutup: Catatan Kritis
Sejatinya jika kita memeriksa sejarah keyakinan dalam agama-agama suku di Papua Melanesia, secara umum di wilayah Pasifik Melanesia, terutama sejarah keyakinan mereka yang belakangan direfleksikan dengan menggunakan kacamata kristologi, ekklesiologi dan soteriologi modren akan kita jumpai “tokoh mesianik” atau “raja adil, ratu adil” yang menjurus ke salah satu tokoh kharismatik yang tampil sebagai Manifestasi dari “Yang Trasenden”, dari “Daya Ilhahi Tak Bernama” yang Jauh, Melampui Segala Apa yang Imanen. Tokoh-Tokoh Rekonsiliator yang terdapat dalam agama-agama suku di Melanesia atau gerakan-gerakan yang dalam beberapa tulisan kami sebut sebagai “gerakan rekonsiliasi” bukan “gerakan kargoisme” sebagaimana sebutan stigma peyoratif beberapa antropolg asing dan domestik yang keliru dalam memahami kekayaan khasana kebudayaan bangsa Pasifik Melanesia, terutama bangsa West Papua.
Dalam gerakan-gerakan rekonsiliasi emansipatif yang terdapat di hampir semua suku Melanesia di Pasifik itu kita melihat satu gejala umum yang khas yang hampir terdapat dalam semua gerakan rekonsiliasi yang ada atau dalam agama-agama suku yang ada, yaitu adanya tokoh rekonsiliator yang tampil sebagai nabi, penyelamat dan pembebas, Ia yang membawa “Fajar Harapan, “Fajar Keselamatan”, dan “Fajar Kehidupan Damai”, “Mama Fajar Timur” yang kami maksudkan di sini adalah “Mama Bumi Pasifik Melanesia”, “Mama Tanah”, “Mama Alam” yang melahirkan dan menghadirkan tokoh-tokoh rekonsiliator tadi. Jadi, pada bagian ini kami tidak sertama merta mau menyandingkan sosok “Mama Bumi” yang sering bangsa Papua sebut dan panggil dengan nama “Papuana” atau “Papuani” itu dengan ikon atau tokoh iman kristinai yang bernama Santa Perawan Maria.
Sebab konsep dasar yang mempergangan keduanya relatif berbeda, unik dan khas tiada duanya. Konsep mariologi dalam agama Kristen dan Islam, sebagaimana yang kami babak di beberapa bagian tulisan di atas relatif berbeda dengan konsep “Mama Tanah”, “Mama Bumi” Pasifik Melanesia yang ada dan hidup sejak dulu hingga kini dalam kearifan lokal suku-suku bangsa di negeri matahari terbit ini. Sosok ‘Papuana’ atau “Mama Fajar Timur” itu berbeda dengan Bunda Maria sebab pertama “Mama Papuana” itu bukan manusia biologis, ia makhluk spiritual murni, Ia sudah Ada jauh sebelum segala yang ada di Bumi Cenderawasih ini ada dan akan selalu ada ketika segala yang ada di bumi cenderawasih ini sudah tiada lagi. “Mama Papuani” adalah “Mama Fajar Timur”, Ia sejak dulu, kini dan nanti dipercayakan oleh “Daya Tertinggi” yang dalam teologi disebut ‘Tuhan’ dan yang dalam agama disebut ‘Allah’ itu untuk menjaga, melindungi, merawat dan merahimi bumi Pasifik Melanesia dari Sorong sampai Samarai.
Baca juga: https://www.detikpapua.com/2024/07/08/mater-orientalis-aurora-iii/
Dengan demikian jika dintanya seperti apa wujud dan wajah Bunda Maria di Papua? Maka jawaban yang berangkat dari catatan refleksi mariologis ini adalah bahwa Wujud dan Wajah Santa Perawan Maria, Bunda Yesus Kristus itu orang Papua sebutan dengan istilah “Mama Fajar Timur” (Mama Papuana) atau “Mater Orientalis Aurora”. Mater Orientalis Aurora ini menjadi hasil buruan refleksi mariologis kami ketika melakukan jalan atau ziarah perburuan “Wajah Sang Bunda Ilahi di Pasifik Melanesia, West Papua”. Kebanyakan senior teolog asli Papua sudah berburu “Wajah Sang Ilahi”, “Wajah Sang Kristus”, harapannya semoga tulisan yang berusaha memburu, menemukan dan mewartakan “Wajah Sang Bunda Ilahi” ini barangkali bisa mengisi lembaran kosong khasana teologi Papua yang ada. (*)
Daftar Pustaka
Deister Syukur, Nico. 2004. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Kompedium Sepuluh Cabang Berakar Binlika dan Berbatang Patristika. Kanisius; Yogyakarta.
Gunawan Y, 2019. 12 Katekese, Renungan dan Doa Bunda Maria, Kanisius: Yogyakarta.
(https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Gelar-gelar_Maria, Diakses pada 07/07/2023).
Ngari, Ignasius. 2024. Budi Ilahi: Menelusuri Pemikiran Profesor Filsafat Nico Syukur Diester. Arta Media: Banyumas.
Prihadi Luhur AG, Dkk. 2017. 80 Tanya Jawab Seputar Iman dan Keluarga. Kanisius: Yogyakarta.
Stanislaus, Surip. “Dogma Maria Bunda Allah”, dalam Majalah Menjemaat “Keluarga Adalah Rahim Panggilan”, (No. 1/Tahun Ke-44/Januari 2022).
_______________“Dogma Maria Dikandung Tanpa Noda”, Majalah Menjemaat edisi Desember 2021 “Gereja Sinodal Kam:Menjadi Teman Perjalanan Gereja”, (No. 12/Tahun Ke-43/Desember 2021),
Tabor, James. 2007. Dinasti Yesus: Sejarah Tersembunyi Yesus, Keluaraga, KerajaanNya, dan Kelahiran Kekristenan. Gramedia: Jakarta; 2007.
Hasil wawancara penulis dengan Ibu Helma Degei tentang pengalaman Vision-nya berjumpa dengan Bunda Maria veris Perempuan Asli Papua, di Komplek Perumahan Rakyat (KPR) Siriwini, Nabire-Papua Tengah, pada medio Mei 2020.