
(Berburu Wajah Sang Bunda Ilhai di Pafisik Melanesia)
*Siorus Ewanaibi Degei
Mariologi dan Ruang Lingkupnya
Pada bagian pertama dan kedua tulisan ini kita sudah memahami kedudukan Bunda Maria dalam Gereja Katolik, meliputi gelar-gelar teologisnya yang mewah serta peran kepausan dalam rangka mengabadikan peran Maria dalam ritus liturgi resmi Gereja dan dokumen-dokumen resmi Gereja. Pada bagian ketiga tulisan ini kita akan melanjtkan pembahasan seputar pintu masuk ke dalam mariologi secara sepintas lalu dan dua vision dari abdi Allah, yaitu vision Maria versi Perempuan asli Papua dari Pastro Profesor Dr. Nico Syukur Diester OFM dan vision Maria versi perempuan asli Papua dari Mama Helma.
Mariologi adalah salah satu bagian disiplin ilmu teologi yang berbicara tentang Maria dan perannya dalam sejarah keselamatan iman umat Kristiani, pendeknya mariologi dimaksudkan sebagai ajaran tentang Maria. Seperti yang sudah kita lihat di muka bahwa ajaran atau pemwicaraan teologis tentang Maria ini ada yang bersifat dogmatis kanonis, yaitu kumpulan refleksi teologis tentang Maria yang sudah baku, tidak dapat digangu-gugat lagi (absolut), juga ada ajaran yang sifatnya tidak dogmatis-kanonis, ia lebih berupa refleksi iman pribadi (persona) yang luwes, bebas, dan kritis (seniman, raja, paus, tokoh iman/santo-santa) juga refleksi iman kelompok/komunio (suku, bangsa, negara, komunitas hidup beriman, dan lainnya).
Baca juga: https://www.detikpapua.com/2024/07/08/mater-orientalis-aurora-i/
Mariologi lebih fokus pada soal yang pertama tadi, yaitu pembicaraan tentang Maria seputar empat dogma mariologis, yakni kebundaan ilahinya, keperawanannya, kebebasannya dari noda dosa asal, dan terangkatnya ke surga dengan jiwa raganya. Pembahasannya meliputi akar Bliblis, mencakup kedudukan Maria dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, tilikan lebih akan tertuju pada andil Maria dalam Perjanjian Baru, sebab ia adalah salah satu tokoh sentral dalam Kitab Suci Perjanjian Baru berdampingan dengan Putra-Nya, Yesus, keponakannya Yohanes Pembaptis dan suaminya Santo Yosep. Setelah mencangkok ilham ihwal Maria di Kitab Suci Perjanjian Baru mulai dari Surat-Surat Rasul Paulus, tulisan Tiga Penginjil dalam Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas) dan Injil Yohanes juga dikomparasikan dengan beberapa naskah apokrif (Proteovangelium Jacobi, Injil Purba menurut Yakobus, “Injil Orang Ibrani”, Epistola Apostolorum “Surat Para Rasul”, “Kenaikan Yesaya”, Acta Petri “Kisah Petrus”, dan lain-lain).
Pembahasan mariologi secara biblis juga dikristalisasi dengan perdebatan teologis bapa-bapa Gereja, para bapa gereja awal-awal yang banyak berbicara tengang kedudukan Maria dalam sejarah keselamatan Allah dalam iman kristiani melingkup empat dogma itu di antaranya adalah, Iganisius dari Antiokhia (sekitar tahun 110), Yustinus Martir (sekitar tahun 165), dan Ireneus dari Lyon (sekitar tahun 202). Pemikiran-pemikiran refleksi mariogis dari para bapa gereja di era partistik ini pada kemudian hari hingga hari ini akan menjadi warisan teologi yang teramat kaya, mewah dan mahal.
Dalam teologi sistematika, Mariologi senantiasa diletakkan sesudah kristologi dan ekklesiologi, kadang-kadang juga dilakukan komparasi antara mariologi, sakramentologi dan sosteriologi, sebab peran atau andil Maria dalam karya pewartaan kristus sebagai bundanya juga andil dalam perkembangan Gereja setelahnya amat kaya dan mahal sehingga mempelajari mariologi dalam bayang-bayang kristologi dan ekklesiologi menjadi begitu penting untuk memahami proyek keselamatan Allah yang oleh kebanyakan teolog sering mereka sebut dengan istilah “ekonomi keselamatan Allah”, (Diester, 2004: 419). Tulisan ini tidak hendak membahas panjang lebar seputar apa itu mariologi dan bagaimana cara kerjanya? Atau deskripsi lengkap tentang mariologi, bagian ini hanya sebatas memberikan gambaran ringkas yang umum tentang kedudukan maria dalam tilikan refleksi teologis yang sistematis, koheren, logis, dan metodis bernama mariologi.
Vision tentang Maria di Papua
Kita tentu masih ingat dengan judul Pidato pengkuhan Guru Besar atau Profesor Dr. Nico Syukur Diester OFM pada 04 Juni 2025 di Auditorium Universitas Cenderawasih Papua yang monumental dengan judul “Penghubung antar Agama Maria dalam Alkitab dan Al-quran serta Penghormatan terhadapnya dalam Tradisis Kristiani dan Islam” itu. Pidato Diester ini hendak mendialogkan refleksi mariologis dalam dua agama besar atau keyakinan, yakni keyakinan kristinai dan islami, Maria dilihat sebagai tokoh rekonsiliator atau sang mediatrix antar kedua agama tersebut, karenanya ia relatif potensial melahirkan toleransi yang harmonis antar keduanya dalam semangat dialog interreligiositas.
Baca juga: https://www.detikpapua.com/2024/07/08/mater-orientalis-aurora-ii/
Yang menjadi unik dan menggemparkan waktu itu (dan momentum inilah yang menggugah kami untuk menulis topik ini) adalah saat dimana Prof Nico menggambarkan sosok atau wajah bunda Maria yang ia jumpai dalam semacam refleksi mariologisnya yang mendalam dan itu membuahkan sebuah penglihatan atau vision yang hemat kami penting digumuli kembali oleh para teolog asli Papua, yaitu ketika Prof. Nico melihat sosok Maria yang menggenakan busana adat asli Papua, Maria yang menyerupai Perempuan asli Papua. Walaupun saat momen tersebut kami tidak hadir, namun gaun informasi tentangnya selalu terpatri dalam kalbu, sehingga pada kesempatan penulisan ini kami merasa penting untuk menggumuli kembali vision mariologis dari sang maestro teologi milik STFT “Fajar Timur” itu.
Dalam buku Budi Ilhai: Menelusuri Pemikiran Filsafat Profesor Nico Syukur Diester (Arta Media, 2024), Bruder Ino Ngari OFM, seorang pengajar filsafat pada STFT “Fajar Timur” secara cukup baik menggambarkan siapa itu sosok Pastor Profesor Dr. Nico Syukur Diester OFM itu dilihat dari pemikiran-pemikiran filsafatnya. Pastor Nico digambarkan sebagai seorang filsuf, teolog dan psikolog, namun yang unik dan khas ialah beliau juga dilukiskan sebagai seorang pendoa, perenung, singkatnya seorang mistikus dalam kesehariannya sebagai imam, dosen, penulis, dan pengasuh anak-anak yatim, (Ngari, 2024: 4-8).
Ia habiskan 40 tahun sebagai pengajar di Kampus Fajar Timur, sehingga sekali lagi vision Pater Nico tentang wujud Maria yang menyerupai perempuan asli Papua itu adalah suatu locus penting untuk memulai sebuah proyek refleksi mariologis yang kontektual di Papua. Vision seorang teolog raksasa, momongan Johan Baptiz Metz, Karl Rainer dan Jurgen Moltmann ini menjadi suatu titik tolak untuk memburu wajah “Sang Bunda Ilahi” di bumi Pasifik Melanesia, West Papua. Sebagaimana yang sudah kami angkat di awal tulisan, bahwa vision Pater Nico itu juga memiliki korelasi dengan beberapa vision dari para devosan juga para pecinta bunda Maria di Papua. Para pecinta Bunda Maria yang terdiri dari mama-mama asli Papua yang sedikit banyaknya tergabung dalam gerakan doa kerahiman ilahi di bawah pimpinan Pastor John Bunai Pr ini tidak sedikit yang mengalami vision serupa, di mana mereka melihat wujud, sosok atau wajah Bunda Maria yang menyerupai diri mereka sendiri, yakni seperti perempuan-perempuan asli Papua pada umumnya dengan menggenakan busana adat yang khas.
Kami hendak menyeringkan satu vision dari seorang mama asli Papua, namanya ibu Helma Degei, ia seorang pendoa, punya kharisma khusus untuk mendoakan dan menyembuhkan orang yang dihinggapi kuasa gelap, mama Helma cukup dikenal di wilayah Nabire. Pada Mei 2020 ia melaksanakan rutinitas doanya seperti biasa, novena 30 kali doa Rosario selama satu bulan penuh sepanjang bulan Mei (kebiasaan ini biasa ia lakukan per bulan Mei dan Oktober sejak lama). Ia biasanya bangun sekitar jam 4:00 subu (Waktu Papua) untuk berdoa novena. Singkat cerita suatu ketika, tepatnya di tanggal 26 Mei 2020 ia terbangun tepat di jam 03:00 subu (WP), bukan seperti jam biasanya.
Ibu Helma merasa agak lain, sebab tidak biasanya ia terbangun di jam sekian, ia keluar kamar melihat dengan saksama arah jarum jam dan memang ia terbangun di jam sekian, ia mulai merasa firasat yang aneh. Ia kembali ke tempat pembaringan, tapi tidak tidur, hanya pecamkan mata sambil menunggu jam 04:00, dalam suasana sedang menunggu itu ia mendengar suara desaan nafas manusia, sepertinya ia tidak sendirian di dalam kamar subu itu, tepat di samping matras tidurnya terdengar suara orang yang sedang bernafas, ada sosok wanita yang sedang duduk tepat di bawah kaki, di sudut tempat tidurnya, ibu Helma tidak takut, dalam hatinya ia selalu percaya dan mengadalkan Tuhannya, firasatnya awalnya mengatakan bahwa sosok itu adalah roh kuasa gelap yang datang guna mencobainya dan membatalkan litani novenanya, firasat lain adalah bahwa itu adalah iblis utusan dari orang yang tidak suka dengan aktivitas doa dan penyembuhan juga pengusiran yang selama ini ia lakukan, prediksi ketiga adalah bahwa barangkali itu adalah tuan tanahnya dari kampung halamannya yang datang berkunjung kepadanya dan keluarga, namun semua ini salah.
Ibu Helma bangun dari tempat tidur, dengan menggunakan bahasa daerah, bahasa suku Mee dialek Mapiha ia menanyakan kepada sosok wanita manis yang sedang duduk bersama di dalam kamar itu, “hai gadis, kira-kira siapa engkau gerangan yang mengunjungiku, apakah engkau setan yang datang atau pelindung saya dari kampung?”, dengan nada yang datar, suara yang manis gadis itu menjawab dengan menggunakan bahasa daerah “saya ini bunda Maria, saya melihat engkau tekun berdoa rosario, jadi subu ini saya datang untuk mengunjungimu, terima kasih banyak karena engkau selalu mengingatku” kira-kira seperti ini jawaban Bunda Maria yang mengunjungi ibu Helma tepat pada jam tiga subu waktu Papua. Cerita dengan penuh semangat iman yang membara juga air mata yang tertumpa ibu Helma ceritakan kepada kami.
Ibu Helma menggambarkan sosok Bunda Maria itu, ia seorang gadis yang manis, masih perawan, muda sekali, kulit, rambutnya, matanya, singkatnya fisiknya itu sama seperti kita, orang asli Papua, layaknya perempuan-perempuan asli Papua, dan ia menggenakan busana adat dari suku kita, dari daerah dan kampung kita, ia juga menyapa dengan bahasa ibu kita, awalnya saya kira itu pelindung atau leluhur kita dari kampung atau leluhur dari Nabire itu yang datang, tapi dengan nada suaranya sendiri ia mengatakan bahwa “saya Bunda Maria yang datang” dalam bahasa ibu suku Mee dialek Mapiha.
Sebelumnya, karena selalu mendoakan orang yang kerasukan roh gelap atau diguna-gunai dengan kuasa gelap, beberapa pasiennya juga sempat menseringkan pengalaman mereka atau keluarga mereka yang melihat atau mengalami vision tentang Bunda Maria dengan bentuk fisik dan busana adat yang khas perempuan asli Papua, ia sangat cantik, sopan santun, ramah, sederhana, bersahaja, baik dan rendah hati, (Hasil wawancara, Modio 2020). (*)
)*Penulis adalaha Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua.