
(Berburu Wajah Sang Bunda Ilahi di Pasifik Melanesia)
*Siorus Ewanaibi Degei
Ide untuk menulis tema ini muncul ketika kami mendengar begitu banyak kesaksian iman tentang penampakkan Santa Bunda Maria yang dijumpai oleh beberapa umat katolik asli Papua juga penglihatan yang dialami oleh Pastor Prof. Dr. Nico Syukur Diester OFM yang sempat menjumpai sosok Bunda Maria yang tampil layaknya “perempuan Papua sejati” dengan busana adat yang khas saat beliau menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besarnya. Rupanya, bukan saja Prof. Nico, sang maestro teologi dari Kampus Fajar Timur ini saja yang mengalami vision Bunda Maria berwujud “Perempuan Sejati Papua”, pengalaman serupa juga dialami oleh kebanyakan umat katolik asli Papua yang puritan dalam berdevosi dan bernovena kepada Santa Bunda Maria, di mana mereka juga mendapat penglihatan bahwa ternyata sosok Bunda Maria itu memiliki wujud layaknya perempuan asli Papua yang keriting, berkulit hitam manis, menggenakan busana adat perempuan asli Papua. Penglihatan-penglihatan ini menunjukkan satu garis pengalaman iman yang sama akan sosok Bunda Maria di negeri Papua Melanesia ini.
Dengan mendengarkan secara langsung beberapa kesaksian iman dari umat katolik asli Papua yang rata-rata adalah mama-mama asli Papua yang hidupnya sederhana dan bersahaja itu kami pun terinspirasi untuk menuliskan pengamalan iman mereka itu dalam sebuah refleksi teologis, tepatnya refleksi mariologis. Sebagai anak adat asli Papua yang beragama katolik juga sebagai mahasiswa yang sudah, sedang dan senantiasa mendalami teologi, salah satunya mariologi, kami merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mengabadikan penglihatan mama-mama kami tentang Bunda Maria juga penglihatan Pastor Profesor Nico Syukur Diester OFM ke dalam buah karya tulis yang bisa dibaca oleh khalayak luas. Tulisan ini sepenuhnya merupakan refleksi mariologis kami, yang berusaha kami kontekstualkan dengan pengalaman iman mama-mama asli Papua yang sudah menjadikan bunda Maria sebagai “mama kandung sendiri”, sebagai teladan dan panutan hidupnya.
Kedudukan Maria dalam Gereja Katolik
Bunda Maria mendapatkan tempat yang istimewa dalam pangkuan Gereja Katolik, bahkan Gereja itu sendiri dipandang sebagai “Bunda Ilahi”. Banyak gelar teologis yang otoritas Gerejani sematkan kepada bunda Maria karena jasa-jasa kuncinya dalam menyukseskan karya Keselamantan Allah. Jasa-jasa Bunda Maria sebagai ‘jembatan’ perwujudan rencana keselamatan Allah itu termaktub dalam 7 kedukaannya; Ramalan Simeon, Melarikan diri ke Mesir, Kehilangan Yesus di Bait Allah, Bertemu Yesus saat di jalan salib, Yesus Mati di kayu salib, Lambung Yesus ditikam dan Jenazah-Nya diturunkan dari salib, Jenazah Yesus ditempatkan dalam Makam, (Gunawan, 2019; 45).
Melalui tujuh duka ini Bunda Maria tampil sebagai raksasa ikon iman dalam sejarah keselamatan perjanjian baru berdampingan dengan Nabi Abraham di perjanjian lama. Berikut ini hendak kami paparkan beberapa gelar teologis bunda Maria di pangkuan Gereja Katolik. Beberapa penyebutan Maria dalam Gereja Katolik mengikuti beberapa kategori, ada yang bersifat dogmatis, berupa sapaan atau julukan, dan beberapa gelar lainnya bersifat puitis atau kiasan, juga gelar-gelar yang diberikan oleh para seniman dan gelar berdasarkan tempat penampakkannya. Gelar-gelar tersebut (selain empat gelar dogmatis) adalah gelar yang rendah status kanoniknya atau tidak memiliki status kanonik sama sekali tetapi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat pecinta Maria.
Gelar-gelar Dogmatis
Ada empat gelar dogmatis yang otoritas Gerejani genakan kepada Santa Perawan Maria sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada peran kuncinya dalam proyek keselamanatn umat manusia yang diselenggarakan oleh Allah melalui Putra-Nya, Yesus Kristus dalam luapan persekutuan dengan Roh Kudus. Berikut ini adalah empat gelar dogmatis teologis yang Gereja sematkan kepada Bunda Maria.
Pertama, “Bunda Allah”, pada tahun 431, Konsilili Efesus menetapkan bahwa Maria sebagai Teotokos, Dei Genitrix yang bermakna Yang Melahirkan Allah, karena putra-Nya, Yesus, adalah Allah sekaligus manusia, yakni satu Pribadi Ilahi yang berkodrat ganda, Ilahi dan Insani. Selain Konsili Efesus, ada juga Konsili Nikea (325), Konsili Konstantinopel (381), dalam dua konsili ini status ontologis Yesus diperjelas dengan sejelas-jelas, isinya seperti yang terdapat dalam rumusan doa Syahadat Panjang Para Rasul, di mana Yesus ditegaskan sebagai 100% Manusia dan 100% Allah. Gelar ini sering disebut dalam bahasa Latin dengan julukan Dei Para atau Mater Dei yang berarti Bunda Allah, gelar ini juga biasa disebut dengan nama “Bunda Berkeberkatan”. Secara biblis data yang memperlihatkan Maria sebagai Bunda Allah dapat dilihat dalam Kisah Kanak-Kanak Yesus (Mat. 1:18-2:23 dan Luk. 1:26-45, 2:152).
Dokumen resmi Gereja yang berbicara tentang Dogma Maria sebagai Bunda Allah ini dapat dilihat juga dalam Lumen Gentium (LG) 53, (Stanislaus, 2022; 26-28). Kedua, “Perawan Maria”, doktrin tentang lestarinya keperawanan Maria berkembang dari awal sejarah kekristenan dan diajarkan oleh bapa-bapa Gereja terhadulu, misalnyan Irenius dan Klemens dari Alexsandria. Gelar ini ditetapkan menjadi dogma pada Konsili Lateran tahun 649, (Tabor, 2007; 421-423). Sebelum ditetapkan dogma “Perawan Maria” atau “Kelahiran Yesus melalui seorang perawan” sempat terjadi pro-kontra yang luar biasa, ada banyak teolog yang menolak dogma ini karena bagi mereka ketika sudah bersuami denganYosep, Maria sudah tidak lagi perawan secara biologis jika merujuk pada tata kebiasaan yudaisme, bahwa bukti dari sebuah ikatan perkawinan adalah adanya hubungan biologis (bercampur), namun tidak sedikit juga teolog yang mengatakan bahwa Maria tetap perawan sekalipun bersuami. Salah satu kitab tua yang menjadi landasan kubu kedua ini adalah salah satu kitab apokrif yang berjudul Protoevangelium Jakobus (pasal 20), yang mengisahkan pengalaman seorang bidan yang memeriksa Maria setelah kelahiran Yesus, di sana didapatkan bahwa Maria tetap perawan karena mujizat Allah, jadi Yesus dilahirkan dalam keadaan perawan (virginitas in partu).
Ketiga, “Yang Dikandung Tanpa Dosa”, kitab suci tidak begitu membahas soal ini, namun masih ada magisterium dan tradisi Gereja yang bisa kita pakai untuk melihat pendasaran dogmatis tentang ajaran ini, semisal dalam Lumen Gentium (LG) 56 yang menegaskan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda, sejak tahun 1624 Gereja telah merayakan dogma tersebut pada tanggal 8 Desember. Kemudian keyakinan bahwa Maria dikandung tanpa dosa ditetapkan menjadi dogma melalui kosntitusi apostolik Ineffabillis Deus (Tuhan yang Tak Terhingga) yang dikeluarkan Paus Pius IX pada tahun 1854: “Perawan tersuci Maria sejak saat pertama perkandungannya oleh rahmat yang luar biasa dan oleh pilihan Allah yang mahakuasa karena pahala Yesus Kristus, Penebus umat manusia, telah dibebaskan dari segala noda dosa asal”. Dogma ini melahirkan gelar “Bunda Yang Dikandung Tanpa Dosa”, (Stanisulau, 2021;16).;
Keempat, “Maria Diangkat Ke Surga”, keyakinan bahwa jiwa dan raga perawan Maria diangkat ke Surga pada akhir masa hidupnya di dunia ditetapkan menjadi dogma melalui kosntitusi apostolik Munificentisisimus Deus (Tuhan Yang Sangat Murah Hati) yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII pada tanggal 1 November tahun 1950: “Atas dasar kekuasaan dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Rasul Suci Petrus dan Paulus, dan atas dasar kekuasaan kami sendiri, kami menyatakan, mengumumkan dan menetapkan sebagai dogma yang diwahyukan secara ilahi: bahwa Bunda Allah yang tak bernoda, Sang Perawan Abadi Maria, setelah menjalani kehidupan duniawinya, Tubuh dan Jiwanya diangkat ke dalam kemuliaan surgawi”. Dogma ini melahirkan gelar “Bunda Yang Diangkat Ke Surga” atau “Ratu Yang Diangkat ke Surga”, (Prihadi, 2017; 27). (*)
)*Penulis adalaha Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua.