Oleh: Abniel Doo, S.Sos.
Universitas Cenderawasih (Uncen) dulu adalah kebanggaan. Kini, ia menjadi tanda tanya. Kampus yang pernah dijuluki sebagai “kampus rakyat” ini, dahulu menjadi tempat lahirnya pemikir, aktivis, politisi, dokter, guru, bahkan atlet nasional. Hari ini, nama itu lebih sering dikaitkan dengan sarang kepentingan, ruang kompromi kekuasaan, arena permainan elite birokrasi, dan lahan subur bagi bisnis pendidikan.
Pertanyaannya sederhana: ada apa dengan Uncen? Sejarahnya terang, tujuannya mulia, dan harapan masyarakat Papua terhadap institusi ini sangat besar. Namun, dalam perjalanannya, Uncen seolah kehilangan arah. Dari kampus pembebasan menjadi kampus beban. Dari ruang ilmu menjadi ladang pungutan. Dari pusat intelektual menjadi panggung elitisme birokrasi.
Rektor Baru, Masalah Lama
Beberapa waktu lalu, rektor baru dilantik dalam sebuah seremoni penuh harapan. Mahasiswa dan civitas akademika menanti perubahan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Masalah lama tak kunjung selesai. Bahkan, muncul problem baru yang memperparah keadaan.
Kepemimpinan dijalankan tanpa mengindahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) kampus. Struktur jabatan digunakan bukan untuk membangun manusia, melainkan memperkuat jaringan kuasa internal. Ini bukan sekadar kritik emosional, tetapi sebuah kenyataan yang diketahui oleh mahasiswa, dosen, dan pegawai namun semuanya memilih diam. Diam karena takut. Diam karena tekanan. Diam karena tahu: siapa yang bicara, akan dibungkam.
Ruang dialog akademik sepi. Forum mahasiswa mulai dikendalikan melalui intervensi terselubung dari pihak kampus. Partisipasi digantikan dengan perintah. Ini bukan ekosistem akademik, tapi sistem otoriter yang menyaru dalam gedung universitas.
UKT Naik, Mahasiswa Menjerit
Saya menulis ini bukan karena kecewa, tetapi karena terpanggil. Dua tahun lalu, saya menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas Cenderawasih. Saya tahu persis bagaimana suara mahasiswa sering diabaikan, terutama dalam hal yang sangat mendasar: Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dulu UKT satu juta rupiah. Kini mencapai lima juta. Di Fakultas Kedokteran bahkan tembus lima belas juta. Pertanyaannya: kampus negeri macam apa yang membebani rakyatnya sendiri? Anak-anak Papua bukan datang dari rumah konglomerat. Kami anak nelayan, anak petani, anak buruh. Kami datang ke Uncen membawa harapan, bukan kekayaan.
Kenaikan UKT yang dilakukan tanpa transparansi, tanpa kajian partisipatif, dan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi mahasiswa, adalah bentuk ketidakadilan struktural yang nyata. Ini eksklusi sistemik terhadap akses pendidikan bagi anak Papua.
Kampus atau Korporasi?
Ketika pendidikan dijadikan lahan bisnis, maka kampus kehilangan jiwanya. UKT bukan hanya soal administrasi. Ia mencerminkan arah kebijakan pendidikan. Jika biaya kuliah naik namun fasilitas tetap buruk, maka pertanyaannya: ke mana perginya uang mahasiswa?
Transparansi adalah kewajiban, bukan bonus. Sayangnya, hingga kini, mahasiswa tidak tahu bagaimana keuangan kampus dikelola. Tidak ada forum terbuka. Tidak ada laporan keuangan periodik. Kampus menjadi seperti korporasi yang tertutup, dijalankan oleh segelintir elit birokrat.
Saatnya Lawan: Dengan Palang dan Suara
Kepada seluruh pimpinan organisasi mahasiswa MPM, BEM Universitas, DPM, BEM dari sembilan fakultas, dan seluruh mahasiswa Uncen—saya ingin menyampaikan: diam adalah bunuh diri kolektif. Jika hari ini kita diam, besok kampus ini akan sepenuhnya dikuasai oleh kapital. Tidak ada lagi ruang bagi mahasiswa miskin. Tidak ada lagi tempat bagi anak Papua.
Palang kampus bukan bentuk anarkisme. Itu adalah ekspresi kultural masyarakat Papua terhadap ketidakadilan. Ketika jalur birokrasi ditutup, maka aksi massa menjadi bahasa yang tersisa. Kita tidak ingin kerusuhan. Kita menuntut keadilan. Kita menuntut pendidikan yang manusiawi.
Palang adalah simbol: ada luka yang tidak diobati, ada suara yang tidak didengar, dan ada hak yang diinjak. Jika ruang dialog dibungkam, maka palang adalah kritik terakhir yang tersisa.
Kembalikan Uncen ke Jalan yang Benar
Uncen bukan milik rektorat. Uncen adalah milik rakyat Papua. Ia lahir dari harapan kolektif. Maka jangan biarkan kampus ini dijual untuk kepentingan segelintir orang. Jangan ubah ruang kuliah menjadi pasar. Jangan ubah dosen menjadi penjaga sistem yang tidak adil.
Jika hari ini Uncen kehilangan wibawanya, itu karena keputusannya menjauh dari nurani. Akademisi bungkam. Mahasiswa dibungkam. Lalu siapa lagi yang akan menjaga kampus ini kalau bukan kita sendiri?
Uncen bisa kembali besar, tapi bukan dengan gaya otoriter, bukan dengan pungutan liar, dan bukan dengan membungkam suara mahasiswa. Kampus hanya bisa berjaya jika dikelola dengan transparansi, partisipasi, dan keberpihakan pada yang lemah.
Pesan untuk Mahasiswa Papua: Jangan Diam
Mahasiswa Papua harus tetap berdiri. Berdiri bukan untuk tunduk pada jabatan, tapi untuk menjaga nilai. Kita tidak tunduk pada siapa pun kecuali pada kebenaran dan pada Tuhan.
Jangan takut bersuara. Setiap ketidakadilan yang dibiarkan akan melahirkan penindasan yang lebih besar. Diam adalah tempat tumbuhnya penindas. Maka suara harus dinyalakan. Perlawanan harus digelorakan. Kita bukan generasi yang hanya belajar untuk lulus, tapi untuk membebaskan.
Jangan biarkan kampus ini menjadi kuburan mimpi anak Papua. Bangkitlah. Suarakan. Lawan. Masa depan Papua tidak ditentukan oleh mereka yang berkuasa hari ini, tetapi oleh kita yang berani bersuara hari ini. Koyaooo! Bangkit dan lawan! Salam waras. [*]
)* Penulis adalah Eks Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Cenderawasih Periode 2022–2023.
![]()

More Stories
Lakukan Kunjungan Kerja ke Deiyai, Begini Usulan Program Prioritas dari Deiyai
Cerita Inspiratif dari Pegunungan Papua: Janji Iman yang Terpenuhi
UNCEN Hadir di Tolikara: Pemkab Tolikara Resmi Buka Kuliah Semester Gasal TA 2025/2026