
(Sebuah Refleksi Dari Otonomi Khusus Papua Telah Gagal)
Oleh Akelaus Bagau
Ketika kita hendak bepergian atau hendak berbelanja di setiap kota dan kabupaten di seluruh Papua. Akan nampak fenomena yang tidak asing bagi kita, yakni orang asli Papua (OAP) berjualan di pinggir jalan dengan beralaskan daun atau karung kusut. Mereka yang berjualan di emperan jalan dengan beralaskan daun adalah mama-mama Papua. Mama-mama asli bumi cendrawasih yang berambut keriting dan berkulit hitam. Mereka adalah pemilik bumi cendrawasih ini. Namun demikian, mengapa fenomena ini hampir terjadi di seluruh Papua. Mulai dari perkampungan hingga masyarakat yang berada di perkotaan mengalami nasip yang sama. Nampaknya ada yang kurang beres dengan sistem perekonomian yang sedang berlangsung di bumi cendrawasih ini. Entah pemerintah yang kurang peka untuk memfasilitasi pembangunan pasar sentral? Atau karena migran yang mendominasi sebagian besar lahan pasar? Atau karena mama-mama Papua yang tidak mau bersaing dengan pedagang imigran?
Pemerintah Provinsi Papua telah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah pusat dengan pemberian UU otonomi khusus (Otsus) Papua nomor 21 tahun 2001 sebagai upaya meredam amarah rakyak Papua atas tuntutan untuk memisahkan diri dari bingkai NKRI. Dalam UU otsus Bab 10, pasal 42, ayat 1 dikatakan “pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat atau masyarakat setempat.” Selanjutnya ayat 4 ditekankan, bahwa “pemberian kesempatan sebagaimana dimakud pada ayat (1) dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan seluas-luasnya.” Sejauh ini upaya untuk mewujudkan amanat UU otsus itu nampaknya masih mengawan.
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/07/31/mengapa-kenyataan-terasa-begitu-pahit-hai-tanah-papua/
Upaya yang dilakukan pemerintah daerah adalah hanya berfokus pada pembangunan fasilitas tanpa memperhatikan aspek utama, yakni memberdayaan manusia Papua. Dari sini menjadi jelas, bahwa kurangnya kepekaan dari pemerintah provinsi maupun kabupaten yang semestinya mampu dan dapat memajukan perekonomiaan masyarakat. Kelemahan pemerintah untuk memperdayakan masyarakat asli, menjadi kekuatan sekaligus menjadi kesempatan berharga bagi imigran untuk menguasai perekonomian masyarakat adat. Keberhasilan imigran dalam menguasai perekonomian masyarat menyebabkan pergeseran yang cukup signifikan, dimana mayarakat asli yang semestinya memegang peranan penting dalam aspek perekonomian malahan disingkirkan dan menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri.
Tangungjawab siapa?
Fenomena sosial ini makin hari makin memprihatinkan, karena instansi-instansi dan lembaga-lembaga yang berwenang seolah-olah menutup mata. Hemat saya lembaga yang mestinya memiliki peranan penting dalam upaya memajukan perekonomian masyarakat adalah pemerintah dan gereja. Pemerintah dapat memotori pergerakan perekonomianya melaui kebijakan-kebijakan dan peraturan pemerintah daerah yang mengedepankan kemajuan dan perkembangan ekonomi masyarakatnya, serta merangkul dan memfalitasi.
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/07/17/gandhi-dan-warisan-perjuangan-ahimsa/
Selain daripada itu, lembaga gereja memiliki tangungjawab yang besar pula atas fenomena ini. Sebab, jika lembaga gereja mengabaikan persoalan sosial ini atau berdiam diri, maka sangat bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh Yesus sebagai model utama iman kristen. “Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikan ketelingamu, beritakanlah itu dari atap rumah.”(Mat. 10: 27) Karena Papua ini mayoritas Kristen, maka kutipan Injil ini mau mengajarkan kepada semua orang, bahwa apa yang kamu ketahui melalui pengetahuan ketrampilan dan imajinasi itulah yang mestinya diajarkan kepada siapa saja tanpa memandang buluh. Hal ini akan menjadi efektif bila dilakukan dengan tindakan nyata, seperti dengan cara memberi sosialisasi yang hendaknya menggugah semangat masyarakat untuk bersaing dan berjuan, sehingga dapat keluar dari keterpurukan.
Runtuhnya perekonomian pribumi
Memang untuk keluar dari keterpurukan, masyarakat Papua khususnya mama-mama asli pribumi memiliki semangat yang luar biasa. Hal ini secara jelas nampak dalam aktifitas sehari-hari mereka yang senantiasa manahan terik dan hujan demi menafkahi keluarganya. Bahkan sangat disayangkan mama-mama Papua berjualan di pingir jalan dan pertokoan dengan beralaskan daun atau karung. Memang apa yang diperdagangkan mama-mama Papua juga tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Palingan yang mereka perdagangkan ialah umbi-umbian, sayur-mayur, pinang, sagu, buah-buahan dan lain-lain.
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/07/08/mater-orientalis-aurora-iv/
Semua yang mereka perdagangkan adalah hasil berkebun dan kerja keras dalam beberapa bulan. Terkadang hasil yang diperolah pun tidak memuaskan, di mana mereka tidak memperoleh sesuai harapan. Ada yang hanya laku setengah adapula yang memang tidak laku semuanya. Lalu, mengapa sampai detik ini mama-mama Papua terus berdagang di pingir jalan dan toko. Kemudian menjadi sebuah pertanyaan dimanakah pasar sentral dan untuk siapakah pasar sentral dibangun? Dan siapa yang memonopoli? Dengan tegas pendeta Socratez Sofyan Yoman mengatakan “secara ekonomi penduduk asli Papua benar-benar tersingkir dan dimarginalkan.”
“Meskipun dari tahun ke tahun pembangunan ekonomi secara nyata telah dilakukan, tetapi sentuhan pembangunan belum begitu banyak mengubah nasib rakyak di Papua, terutama di kampung-kampung.” “upaya pembangunan yang selama ini digalakan sepertinya hanya sebuah kata yang manis untuk diucapkan. Fakta begitu telanjang memotret ketertingalan dan kemiskinan di segala apek kehidupan mayarakat Papua.” Secara singkat pater John Djonga ingin katakan bahwa tak ada gunanya, jikalau dari tahun ke tahun yang dibangun itu hanya fasilitas umum sementara manusia Papuanya tidak diperdayakan. Akibat dari kelalaian pemerintah daerah, masyarakatnya makin hari makin terisihkan. Yang menguasai pasar sentral, tokoh, ruko dan mall adalah imigran (pendatang) dan fenomena ini telah terjadi di setiap kota dan provinsi Papua. Dengan demikian, perekonomian masyarakat telah runtuh dan jatuh ke tangan amber akibat kurangnya kepekaan dari pemerintah.
Merasa tidak puas dengan ketidakadilan
Akibat dari ketidakadilan terhadap masyarakat asli Papua ini. menyebabkan tidakpuasan dalam berbagai bidan, terlebih khusus dalam bidan perekonomian, sehingga sering memicu amarah OAP. Amarah itu sering diluapkan melalui demonstrasi-demonstrasi massal dengan tujuaan mandapatkan keadilan sama seperti orang Indonesia lainnya . Salah satu demonstrai yang dilakukan mama-mama Papua, yakni 30 maret 2010 untuk mendapatkan rasa keadilan dan hak yang layak di atas tanah mereka. Dengan spanduk beruliskan “hapuskan sistem monopoli dagang komoditas asli Papua.”
BACA JUGA: https://www.detikpapua.com/2024/07/08/mater-orientalis-aurora-ii/
Pengetahuan akan adanya sistem monopoli dan bahaya yang menganjam kehidupan masyarakat asli Papua, mestinya harus dimiliki dan ditangkapi secara serius oleh setiap penjabat Papua. Sebab, yang melakukan dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah adalah para penjabat daerah itu sendiri. Jika hal ini di biarkan secara terus menerus, maka itu ibaratnya “membiarkan tikus mati di lumbung beras.” Pemerintah juga sebagai pelakana amat UU otus, maka butir-butir yang tercandum dalam bab x ayat 4 mestinya direalisasikan. Agar dampaknya dapat memuaskan dan menjamin kesejahteraan warga masyarakatnya. Dengan demikian, tugas dan tangungjawabnya sebagai pemerintah legilatif dan eksekutif yang telah dipilih dan diangkat warganya dapat terealisasi. Sebab, banyak penjabat legislatif yang memiliki visi dan misi yang bombastis namun untuk merealisasikannya sangat sulit.
Oleh sebab itu, fenomena sosial yang nampaknya biasa saja bagi pemerintah, namun memiliki efeck yang berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat ini, mestinya ditangkapi secara serius. Hal-hal yang perlu dibenahi oleh lembaga-lembaga yang berwenang entah itu pemerintah maupun lembaga gereja adalah:
Pertama, memberi sosialisasi tentang bagimana caranya supaya masyarakat asli juga dapat berdagang di tempat yang layak dan mampu bersaing dalam dunia perekonomian; Kedua, merangkul dan memperdayakan masyarakat melalui pembinaan dan pelatihan; Ketiga, memfasilitasi tempat berdagang atau jualan sehingga, tempat yang akan difasilitasi itu hanya diperuntukan bagi orang Papua, terlebih khusus mama-mama Papua yang selalu berdagang di emperan jalan dan toko. Sebab, memang ada pasar sentral yang di buka pemerintah di setiap kota, namun tidak menjamin keluhan dari masyarakat; Keempat, menghapus sistem monopoli agar OAP juga mendapat kesempatan untuk memajukan perekonomian keluarganya. inilah langkah awal yang dapat dilakukan agar masyarakat sebagai mayoritas tidak diminoritaskan oleh amber yang terus berdatangan setiap tahun, bahkan setiap hari. Dengan demikian, secara perlahan tetapi pasti bahwa tingkat kemiskinannya dapat dikurangi dan kesejahteraan yang didambahkan itu akan ada efeck cerah. (*)
)* Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura-Jayapura Papua
Daftar Pustaka:
-
- Socratez Sofyan Yoman. 2012. Otonomi Khusus Papua Telah Gagal, Papua Barat: Cendrawasi press.
- Pieter Sambut, Biogrrafi Pater John Djonga. 2015. Melawan Penindasan Dan Diskriminasi Di Papua, Papua: Yayasan teratai hati Papua.