
*Yufensius Aituru
Pengantar
Setelah “kejutan” PSN oleh negara sampai dengan pernyataan kontroversial Uskup Agung Merauke yang belum juga selesai, kini bencana baru sedang berkembang bahkan sedang diperjuangkan untuk hadir lagi di tanah Papua. Bencana itu ialah transmigrasi. Tampaknya negara tidak puas dengan sejumlah jarahan yang diraupnya di tanah Papua. Upaya transmigrasi yang sedang diperjuangkan negara ke tanah Papua tentunya menjadi bencana besar bagi kelangsungan dan kelestarian hidup manusia Papua dan alamnya. Di tengah multiaspek persoalan dari segi ekonomi-sosial, politik, budaya, agama bahkan sampai dengan krisis kemanusian yang tampak dalam fenonema genosida dan ekosida di Papua, negara masih berulah lagi dengan program transmigrasi. Ada apa dengan negara ini? Apakah negara sedang “Rakus”? Sekurang-kurangnya ini bisa dibenarkan sebab memang negara tidak pernah berhenti menjarah di tanah Papua. Tidak terselesainya sejumlah persoalan di tanah Papua menjadi dasar dari pembenaran itu.
Tidak terselesainya multiaspek persoalan di tanah Papua (sejak semula) bahkan semakin hari semakin meningkat itu, memberi kita suatu kesimpulan bahwa negara memang tidak peduli dengan kehidupan orang Papua. Persoalan di Papua bagai estafet yang selalu “diwariskan” dari generasi ke generasi. Di hadapan luka karena pembangunan, kekerasaan, penindasan, bahkan pembunuhan belum juga pulih, kini muncul luka tambahan bagi orang Papua, yakni transmigrasi. Menteri transmigrasi, Muhammad Iftitah Suryanagara dengan kewibawahannya dalam rapat kerja komisi V DPR RI menegaskan bahwa transmigrasi akan dilakukan untuk mengentas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan di Indonesia. Menurutnya, fokus utama transmigrasi bukan sekadar memindahkan orang sebagaimana memindahkan kemiskinan dari tempat yang lama ke tempat yang baru, tetapi dengan harapan dapat mengentas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Pernyataan ini disinyalir sebagai instruksi langsung dari sang mandor Presiden Prabowo. Tampaknya, fenomena transmigrasi yang sebelumnya dilakukan negara pada masa pemimpin terdahulu (Sukarno-Soeharto) ingin terapkan lagi pada masa pemerintahan Prabowo saat ini. Bagi kami, upaya transmigrasi yang hendak diupayakan pemerintah pusat pada masa ini bukan sekadar menambah luka melainkan kuburan bagi orang Papua. Mengapa kuburan? Apakah transmigrasi memang kuburan buatan negara untuk orang Papua?
Awal-mula Transmigrasi di tanah Papua
Transmigrasi di tanah Papua memang bukan hal baru melainkan suatu program yang telah berlangsung lama. Program ini telah berlangsung ketika Belanda masih menguasai dan menduduki tanah Papua (Nieuw Guinea). Jika diurutkan maka ada empat tahap transmigrasi yang pernah terjadi tanah Papua. Pertama, masa kekuasaan Belanda tahun 1902. Pada masa ini, pemerintah Belanda mengirim beberapa keluarga petani Jawa ke Nederlands Nieuw Guinea (Papua). Sejumlah petani beserta keluarga ini tiba dan bekerja menanam padi, sayur dan buah-buahan di daerah Merauke. Kedua, era setelah kemerdekaan Indonesia (1945-1967). Program transmigrasi di masa ini resmi dimulai pada tanggal 12 Desember 1950. Pemerintah Indonesia yang baru, di bawah Presiden Sukarno mengakui manfaat program ‘kolonisatie’ sebagai jalan untuk membangun negara. Karena itu, ia memutuskan untuk melanjutkan program ini dengan nama transmigrasi. Program ini pada mulanya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan di provinsi-provinsi terpencil di Indonesia dengan membawa para petani dari pulau Jawa dan Bali yang sudah padat penduduknya. Di bawah kekuasaan Presiden Sukarno, program ini mulai difokus lagi untuk wilayah Indonesia Timur termasuk di Papua. Maka, pada tahun 1960-an pemerintah mulai memperkenalkan program relokasi skala kecil. Salah satu wujud dari program ini ialah “program pelopor pembangunan Irian Barat atau PPIB yang mengarah pada transmigrasi dari Jawa ke wilayah-wilayah di Papua seperti di Manokwari, Merauke, dan Jayapura tahun 1964. Ketiga, era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto (1967-1998). Program Transmigrasi di masa ini mulai berlangsung pada tahun 1969 di bawah tanggung jawab kementrian Transmigrasi dan Koperasi. Di tahun 1974 kementrian ini berganti nama menjadi kementrian Tenaga kerja, Transmigrasi dan Koperasi. Kementrian ini kemudian mengakomodir program transmigrasi di wilayah Sumatera Selatan, Kalimatan, dan Nusa Tenggara Barat sebagai daerah tujuan. Kemudian, setelah keputusan Presiden No. 7/1987, program transmigrasi di perluas ke wilayah Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Selawesi Utara dan Irian Jaya. Program transmigrasi pada masa ini memang berskala besar namun tidak bisa diwujudkan. Presiden Soeharto mengurangi secara drastis lantaran donor internasional Bank Dunia menarik dana untuk program transmigrasi ini. Setelah Bank Dunia menarik dan memotong dana untuk program tersebut, transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah menurun. Keempat, era Reformasi (1998-2018). Di masa ini, tampaknya Negara telah mengalami kekurangan dana untuk mengimplementasikan skema transmigrasi dalam skala besar sehingga program ini direstrukturisasi dan dirampingkan dalam pendekatan top-down di bawah pimpinan pemerintah pusat menjadi program kerja sama antar daerah atau di kenal dengan nama “Kerja Sama Antar Daerah” (KSAD). Program transmigrasi pada masa ini mengarah pada pengamanan batas wilayah. Wilayah Jayapura, Keerom dan Merauke seperti di Muting adalah bagian dari usaha dari pengamanan negara terhadap batas wilayah pemerintahannya. Selain itu, pembatasan aksi gerak kelompok sipil bersenjata juga menjadi strategi dari program transmigrasi di masa ini. Data Pemerintah Provinsi Papua menunjukkan jumlah luas wilayah untuk pelaksanaan program Tranasmigrasi seluas 2.100.740 Ha di sepuluh Kabupaten di Papua pada tahun 1999. Di tahun 2008, di bangun “kota-kota transmigrasi” yang dikenal dengan nama “Kota Terpadu Mandiri” (KTM). Saat ini, “kota-kota” yang dimaksud ialah wilayah Senggi (Kabupaten Keerom), Salor dan Muting (di Kabupaten Mearuke). Sementara pusat-pusat transmigrasi seperti di Arso dan Tanah Miring menjadi lokasi perkebunan dan agrobisnis untuk produksi beras dan kelapa sawit.
Dalam seluruh pola program transmigrasi dilakukan beberapa skema yang mana diterapkan perbedaan alokasi luas tanah dan tunjungan negara. Mayoritas skema transmigrasi di tanah Papua dilaksanakan untuk pengembangan dan pengolahan pertanian. Dalam tipe transmigrasi ini, setiap keluarga menerima dua hektar lahan, yang terdiri dari 0,25 hektar untuk membangun peternakan, 0,75 hektar untuk pertanian 1 hektar untuk hutan produksi. Lahan pertanian digunakan untuk penanaman sayuran, tetapi terutama untuk penanaman padi. Skema transmigrasi lain seperti pembangunan perkebunan kelapa sawit berskala besar dilakukan di Arso (Kabupaten Keerom) dan Prafi (Kabupaten Manokwari). Setiap keluarga menerima 3 hektar lahan, yang terdiri dari 0,25 hektar untuk pembangunan rumah, 0,75 hektar untuk penanaman kebun dan 2 hektar untuk penanaman kelapa sawit. Varian skema dari transmigrasi juga terbatas pada beberapa daerah terutama untuk upaya peningkatan sumber daya ikan lokal. Ini terjadi di desa Wimro, Kabupaten Bintuni. Hal sama juga di terjadi Kabuapaten Raja Ampat. Pemerintah daerah menyediakan 10.000 hektar lahan untuk pemukiman transmigrasi di pulau Waigeo. Model transmigrasi terbatas lainnya juga diciptakan untuk penggunaan komersial kawasan hutan produksi. Pemukiman transmigrasi juga dibangun di Arandai I dan Arandai II di Kabupaten Manokwari. Skema ini terbatas pada eksploitasi stok sagu yang tidak berkelanjutan. Pohon sagu ditebang untuk produksi makanan komersial namun tidak di tanam kembali.
Pada bulan Februari 2010, Gubernur Provinsi Jawa Barat, Ahmat Herman mencapai kesepakatan dengan pemerintah Provinsi Papua Barat untuk mendatangkan 700 keluarga dari Jawa Barat ke Provinsi Papua Barat setiap tahunnya. Dengan kesepakatan ini, pemerintah provinsi Papua Barat mengalokasikan 5,8 hektar untuk pemukiman transmigrasi. Pada 2013, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, secara terbuka mengumumkan transmigrasi ke Papua. Upaya ini kemudian terwujud dengan pengembangan 271 pemukiman transmigrasi di Provinsi Papua dan Papua Barat. Salor dan Muting menjadi sasaran dari upaya transmigrasi ini. Pada 2015, Menteri Marwan Dajfar mengumumkan niat untuk melakukan transmigrasi kepada Papua. Namun, ini tidak terwujud karena berseberangan dengan keputusan Jokowi. Presiden Jokowi mengumumkan pemberhentian sementara terhadap program transmigrasi ke Papua dengan alasan program tersebut telah menyebabkan konflik sosial antar penduduk asli Papua dan para pendatang.
Pada tahun 2016, pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat memperkenalkan skema baru tentang transmigrasi bagi pemukiman penduduk di wilayah batas-batas provinsi. Dalam data Dinas kependudukan dan Tenaga Kerja Provinsi Papua Barat, 350 keluarga yang kurang beruntung secara sosial diberi kesempatan pindah ke beberapa wilayah Kabupaten seperti ke Manokwari, Fak-fak, Maybrat dan Manokwari Selatan. Bahkan program ini dibiaya langsung oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten yang mengambil bagian dalam program ini. Sementara ditahun yang sama (2016) di Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi membangun 200 unit rumah pemukiman transmigrasi di Senggi dan Muting. Nampaknya ini di bawah kendali pemerintah pusat. Sebab, di tahun yang sama (2016) Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe (alm) mengkritik program transmigrasi ke tanah Papua. Ia bahkan menyatakan untuk tidak akan menerima lagi program transmigrasi ke Papua. Pernyataan ini sekaligus bentuk keprihatinannya terhadap migrasi spontan yang sering terjadi di tanah Papua. Maka, untuk menghentikan fenomena ini, ia berusaha memperketat persyaratan hukum terhadap masuknya migran ke Papua dengan bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten. Landasan hukum untuk peraturan imigrasi itu atur dalam peraturan khusus provinsi (PERDASI) No. 11/2013 tentang kontrol populasi. Peraturan khusus ini melarang “program-Transmigrasi” selama total populasi Provinsi Papua di bawah 20 juta jiwa. Peraturan ini mengharuskan kepemilikan kartu identitas pribadi dengan tempat tinggal di Papua (domisili Papua) sebagai persyarat utama bagi para migras yang ingin menetap secara permanen di Papua. Namun, terlepas dari dasar hukum ini, migrasi spontan ke Papua tetap meningkat dan fenomena ini masih terus terjadi hingga hari ini.
Dampak negatif transmigrasi di Tanah Papua
Tidak dapat disangkal bahwa program transmigrasi yang dicanangkan negara di tanah Papua telah berdampak buruk bahkan berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia dan alam Papua. Program transmigrasi selama ini memang memiliki dampak negatif di tanah Papua dan sering mengarah pada konflik sosial, perubahan demografi dan konflik kepemilikan lahan antara masyarakat adat dan otoritas publik (pemerintah). Pertama, konsekuensi Demografi. Setelah aneksasi ke Indonesia pada tahun 1961, perubahan demografis yang serius mulai terjadi di tanah Papua. Data tahun 1960, sensus populasi di Papua adalah berjumlah 736.700 jiwa. Sensus tahun 1971, menunjukkan total populasi Papua mencapai 923.000 jiwa, yang terdiri dari 96% orang Papua dan 4% orang non-Papua. Di tahun 2000 menunjukkan total populasi meningkat menjadi 2.213.830, yang terdiri dari 68% orang Papua dan 32% orang non-Papua. Namun, di tahun 2010, dalam data Badan Pusat Statistik Indonesia, menunjukkan bahwa total populasi di tanah Papua mencapai 3.612.854 jiwa dengan rincian 1.730.336 (47,89%) orang Papua dan 1882.517 (52,10%) orang non-Papua. Hasil sensus ini ditayang sementara namun dihapus dari semua data statistik karena sensitivitas politik atas angka-angka ini. Pada tahun 2015 Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan transmigrasi, Djafar Darman dalam wawancaranya menyatakan bahwa sekitar 62% dari total populasi di Papua adalah imgrasi. Presentasi angka populasi jiwa ini semakin menegaskan bahwa penduduk orang Papua telah dan sedang menurun. Sementara, populasi orang non-Papua semakin meningkat. Penduduk asli Papua lambat-laun semakin menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Kedua, Konflik Sosial. Dampak lain yang turut beriringan dengan transmigrasi adalah konflik Sosial. Perpindahan penduduk dari luar Papua pasti membawa budaya dan tradisinya ke Papua. Situasi dan kondisi ini turut mempengaruhi realitas hidup bersama. Persaingan di tengah masyarakat baik orang Papua maupun non-Papua juga rentang terjadi. Kesenjangan pada aspek pendidikan juga turut mengambil andil akan terjadinya konflik sosial. Transmigrasi juga berpotensi atas meningkatnya konflik horizontal antara penduduk asli Papua dan pendatang. Gerakan ini tercermin dalam terbentuknya kelompok-kelompok antipode yang sering bertentangan di tanah Papua. Ketiga, konflik hak atas tanah. Ini salah satu konsekuensi yang paling parah dalam transmigrasi. Di tanah Papua, kasus-kasus pelanggaran hak atas tanah sering terjadi di semua pusat transmigrasi di hampir seluruh tanah Papua.
Transmigrasi Ke Papua Berarti Negara Membuat Kuburan Untuk Orang Papua
Upaya transmigrasi yang hendak dilakukan negara ke Papua di bawah kepemimpinana Presiden Probowo adalah upaya pembuatan kuburan untuk orang Papua. Mengapa demikian? Sebab transmigrasi ke tanah Papua adalah ancaman bagi orang Papua dan alamnya. Transmigrasi menambah “kecepatan” kepunahan manusia dan alam Papua. Pemerintah mestinya mengupayakan kebijakan “penyelamatan” untuk tanah Papua. Multi aspek persoalan yang telah tertimbun dan kian meningkat mestinya menjadi dasar dari kebijakan negara saat ini. Upaya transmigrasi bukan menambah kemajuan apalagi kesejateraan. Justru transmigrasi semakin menambah situasi kawat darurat di tanah Papua. Transmigrasi bukan hanya menambah luka namun memperlebar ruang kepunahan manusia Papua dan alamnya.
Negara sebaiknya tidak menggunakan dalil “demi kemajuan dan kesejahteraan tanah Papua” dalam upaya transmigrasi. Papua tidak membutuhkan transmigrasi. Papua membutuhkan kehidupan yang aman dan damai entah bagi manusia maupun alamnya. Kemajuan dan kesejahteraan di Papua harus “ditempatkan” pada usaha negara untuk memberikan keadilan bagi orang Papua. Karena itu, jaminan ini harus diupaya negara dengan berusaha “memberantas” beragam persoalan telah ada dan sedang terjadi di tanah Papua. Sejumlah kasus seperti pelanggaran HAM, konflik sosial, eksploitasi alam, dan sejumlah persoalan lainnya mesti diselesaikan bukan negara menjadi sumber masalah di tanah Papua.
Upaya transmigrasi ke tanah Papua bukan solusi atas beragam persoalan yang telah dan sedang terjadi di tanah Papua. Transmigrasi hanya menambah masalah dan mengancam eksistensi orang Papua yang semakin hari-hari menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Upaya transmigrasi bukan hanya menambah luka tetapi menyediakan kuburan bagi orang Papua. Di tengah beragamnya persoalan dan gejala kepunahan populasi jiwa orang Papua, negara malah hadir dengan upaya transmigrasi. Upaya ini mengindikasikan bahwa negara memang semakin gencar dalam misi terselubung terhadap kepunahan orang Papua dan alamnya. Pembiaran terhadap sejumlah persoalan juga semakin memperkuat indikasi itu. Ini memang bukan lagi rahasia. Seluruh fenomena kaos dan pembiaran negara terhadap beragam persoalan di tanah Papua semakin membuka tabir dari misi terselubung itu.
Papua Bukan Tanah Kosong
Papua adalah tanah bertuan dan bukan tanah kosong. Papua adalah Tanah warisan leluhur orang Papua sejak dahulu kala. Papua bukan tanah barter apalagi tanah jarahan orang Papua dari pihak manapun. Papua telah diuni oleh pemiliknya yang menyebut dirinya sebagai orang Papua dengan ciri fisik hitam kulit, keriting rambut. Papua berarti merujuk pada manusia dan alamnya. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Manusia dan alam Papua saling bergantung. Manusia bergantung pada alam yang memberinya kehidupan dan bertumbuh bersamanya. Karena itu, bagi orang Papua, alam atau tanah bukan sekadar kosmos melainkan sebagai sumber hidup. Bahwa selain alam memberi “makan dan minum” bagi manusianya; Alam juga selalu memberi ruang dimana manusia membangun hubungan dengan dunia mistis. Karena itu, dengan alam, manusia Papua juga membangun hubungan dengan leluhur bahkan dengan realitas tertinggi. Melalui dan bersama alam, orang Papua hidup, bergerak dan terus bertumbuh. Karena itu, jika merusak alam berarti juga merusak manusianya. Demikian pula, penguasaan terhadap tanah atau alam Papua berarti juga penguasaan terhadap manusianya. Itulah sebabnya, orang Papua dengan keras menolak upaya transmigrasi yang hendak dilakukan oleh negara. Sebab, upaya transmigrasi ke Papua berarti upaya penguasaan terhadap manusia dan alamnya yang berakibat pada kepunahan.
Kita tentu akan sangat frustrasi dengan seluruh kebijakan negara untuk tanah Papua. Di tengah beragamnya eskalasi persoalan di tanah Papua, negara masih berupaya menghadirkan transmigrasi. Ini tentunya menjadi ancaman bagi orang Papua dan alamnya. Sebab transmigrasi selalu berakibat pada pemindahan penduduk dari luar ke berbagai wilayah di tanah Papua bahkan bisa dalam skala yang besar. Transmigrasi itu menjadi ancaman karena populasi jiwa orang Papua yang sedang mengalami kemesorotan bahkan menuju kepunahan ketimbang penduduk dari luar Papua. Ini tentu menjadi ancaman serius bagi orang Papua di tanahnya sendiri. Maka, program transmigrasi tidak hanya menambah luka tetapi menjadi kuburan bagi kepunahan manusia Papua dan alamnya.
Penutup
Kehadiran transmigrasi di Papua adalah situasi gawat darurat bagi orang Papua di tengah situasi kaos dewasa ini. Transmigrasi bukan hanya menambah luka melainkan menambah dan memperlebar kuburan bagi kepunahan orang Papua dan alamnya. Bagaimana tidak? Bahwa di tengah beragam persoalan dan krisis kemanusiaan serta krisis alam di Papua, negara masih berupaya mengadakan program transmigrasi ke Papua. Kita patut mempertanyakan kebijakan negara itu. Oleh karena itu, negara sebaiknya tidak memaksakan kehendaknya untuk menghadirkan program transmigrasi di tanah Papua. Tanah Papua sejak dahulu kala sudah bertuan. Tanah Papua bukan tanah kosong. Negara tidak boleh dengan rela hati ingin melenyapkan orang Papua dan alamnya dengan mengadakan kuburan transmigrasi. Mengadakan transmigrasi di Papua berarti negara mengadakan kuburan untuk orang Papua. (*)
*Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua.
Referensi
Heriyanto, Albertus, Tanah: Bukan sekedar Tanah. Limen Th. 12, No.2, April 2016
Koalisi Internasional untuk Papua (ICP), Hak Asasi Manusia dan Eskalasi Konflik di Papua. Jenewa. 2020.
Koten Bernat, dkk, Papua Bukan Tanah Kosong, SKPKC Fransiskan Papua: Jayapura, 2018.
Jenaru Adventinus, dkk, Papua Di Ambang Kehancuran, SKPKC Fransiskan Papua: Jayapura, 2017.