(Sebuah Bidaah Baru, Papua “Mengekskomunikasi” Uskup Mandagi)
*Siorus Ewanaibi Degei
Bidaah Mandagianisme dan upaya Mengekskomunikasinnya
Belajar dari sejarah, maka tidak salah juga jika umat Katolik Papua melayangkan protes yang sifatnya ekskomunikatif terhadap Uskup Mandagi, sebab bukan tanpa alasan mendasar, pasalnya sang Uskup sudah bertindak di luar dari koridor-koridor kewajaran dan batas-batas kelayakkan seorang Uskup.
Ia sudah terlmpau jauh bertindak, sebagai perpanjangan tangan-kaki kapitalisme di bumi Anim-Ha. Ia buta terhadap situasi dan fenomena krisis ekologis yang sudah membumi. Paus Fransiskus punya perhatian yang besar dan serius terhadap keniscayaan kepunahaan linkungan hidup. Melalui ensiklik, doa, seruan, khotba dan lawatan apostolik, Paus yang memiliki nama Santo pelindungan orang-orang misikin dan lingkungan hidup ini selalu kampanyekan kehidupan dunia yang lebih ekologis bukan egologis, yang lebih hijau, biru bukan abus-abus gosong dan segar.
Ia mengkritik konsep ekonomi kapitaslistik, ekonomi predator yang sudah terciduk festisisme uang, mendewakan uang dan modal sebagai segalanya. Paus menewarkan konsep ekonomi cinta kasih, ekonomi keibuan yang lebih menjaga dan merawat alam sebagai rumah kita bersama semua visi-mis Paus ini, sepertinya luput dari cakrawala tangkapan indra Uskup Mandagi. Ia bertindak layaknya “monster ekologis”, memberikan dukungan sebagai bentuk legitimasi dan justifikasi Gereja atas praktek ekstraktif ekologis di bumi Anim-Ha melalu proyek-proyek predator.
Inilah yang kami sebut sebagai bidaah Mandagianisme, sebuah bidaah yang menghalalkan perslingkuhan antara otoritas Gereja, koorporasi-oligarki kapitalis beserta rezim otokrasi dinasti. Ini bidaah yang muncul di Merauke, yang dalam peta kolonialisme-kapitalistik mereka sebut sebagai Papua Selatan, lahan sawit, sawah dan tabu nusantara, ibu tiri yang suka iri anak sendiri. Bidaah ini muncul pada 11 November 2020, ketika seorang Uskup Ambonia, diangkat menjadi Uskup Agung di Keuskupan Merauke.
Ia kemudian membawa serta kroni-kroninya dari sifatnya akar sampai pucuk, agar segala apa yang ia lakukan itu senantiasa sukses. Ketika mayoritas umatnya menolak paket otonomi khusus jilid II dan pemekaran Papua Selatan, ia ambil jalan sendiri untuk mendukung dua agenda pemusnahan manusia dan alam West Papua. Ketika masyarakat adat, pemilik marga-marga atas tanah-tanah adat berdemonstrassi, katakanlah seperti Frengky Woro dan masyrakata suku Awu, juga yang serkarang masyarakat dari tiga marga: Gebze, Moiwend dan Kwipalo menuntut keadilan, kebenaran dan kedamaian di ulayat mereka, Uskup lebih lebih memilih bergandengan tangan dengan orang-orang dan kelompok-kelompok yang mau memusnahkan bumi Anim-Ha.
Ia malah menuduh masyarakat dan semua aktivis di belakangan masyarakat adat itu sebagai “orang-orang bodoh”, ini kata-kata seorang gembala kepada domba-dombanya, ini kata-kata dari seorang uskup kepada umat-umatnya, ini adalah kata-kata dari yang dia yang katanya adalah salah uskup senior kepada anak-anak muda, kepada anak-anak remaja pemilik ulayat tanah yang di ambang kepunahan, ini adalah kata-kata dari dia yang katanya “bapa perdamaian Maluku berdarah” kepada masyarakat adat Anim-Ha yang berdarah-darah menjaga tanah dan alam ulayatnya, sekali lagi inilah bidaah terbaru, yang muncul dalam tubuh Gereja Katolik Papua dengan nama Mandagianisme.
Sebagaimana yang sudah bersama-sama kita lihta bahwa untuk membendung sebuah evolusi bidaah otoritas Gereja selalu meresponsnya dengan jalan dialog bijak dalam forum konsili ekemenis. Bidaah menjadi kuat karena ia bukan saja gagasan in se atau gagasan per se, melainkan ia selalu muncul dalam sebuah gerakan reformasi bahkan revolusioner senyap. Di belakang sebuah bidaah ada muatan kepentingan politik-ekonomi dari raja, kaisar, panglima atau jenderal militer yang mendukungnya. Mereka yang mencetuskan sebuah doktrin sesat selalu dapatkan sistem security atau safety dari rezim yang sesat juga.
Hal sama juga ada pada dan dalam bidaah terbaru bernama mandagianisme ini, ia tidak muncul sendirian, di belakangnya ada penguasa politik dan militer, ada pengusaha ekonomi raksasa. Satu langkah yang bisa bangsa West Papua tempu hanyalah satu, yaitu mengekskomunikasi bidaah mandagianisme ini. Sebelum Vatikan mengekskomunikasikan bidaah tersebut, maka jalan ke sana harus ada yang rintis, dan ini panggilan untuk masyarakat adat West Papua yang beragama katolik juga yang berkeyakinan lainnya.
Ini bukan ajakan untuk membangkang dari otoritas Gereja Katolik yang resmi, tetapi ini adalah bentuk kepeduliaan dan keprihatinan umat akan situasi carut-marut dalam tubuh hirarki Gereja Katolik di Anim-Ha. Sama seperti Vatikan yang menarik semua hak dan kewajiban istimewah dari para pelaku bidaah, demikian pun, masyarakat adat West Papua, dalam hal ini marga-marga di bumi Anim-Ha juga mengekskomunikasikan Uskup Mandagai, “mengeluarkannya” dari status sebagai Uskup karena memang sudah tidak layak, tidak pantas dan tidak etis elok sebagai seorang Uskup Agung, beliau tampil sebagai pendukung operasi ekosida di bumi anim-ha.
Kita tidak bisa mengharapkan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Kepausan Vatikan untuk menindaklanjuti proporasl konsili ekemenis guna mengekskomunikasikan bidaah mandagianisme ini, kedua lembaga tersebut tentu akan berperan, meskipun selama Papua terjajah dalam kolonialisme NKRI ini tidak pernah ada niat tulus dari kedunya untuk menyudahi konflik Papua dengan jalan damai. Tetapi selalu ada harapan, tidak salah juga jika kita senantiasa bersikap optimistis dengan dua lembaga tersebut, KWI dan Kepausan.
Semoga keduanya pun mampu mengekskomunikasikan bidaah mandagianisme yang sudah menjalar di secukur tubuh hirarki Keuskupan Aguang Merauke, pionirnya adalah seorang Uskup aktif, semua orang disekelilingnya adalah pion-pion terpercaya dan tervadilisasi. Jadi, bidaah ini sudah menjalar ke hampir semua imam, religius, awam dan lain-lain di wilayah Keuskupan Agung Merauke, maka sekali lagi bangsa West Papua mesti segera mengekskomunikasikan bidaah pelumnas ekosida dan genosida di bumi anim-ha itu. (*)
Daftar Pustaka:
Jehaut, Ardus. 2019. Ekaristi Dalam Kitab Hukum Kanonik: Teks dan Konteks. Kanisius: Yogyakarta.
Schneiders Martinus, Nicolas. 2014. Orang Kudus Sepanjang Masa. OBOR: Jakarta.
Silvester Susianto, Budi. 2021. Kamus Populer Kitab Hukum Kanonik: Untuk Kaum Awam. Kanisius: Yogyakarta.
Situmorang, Jonar. 2014. Sejarah Gereja Umum: Perjalanan Gereja dari Masa ke Masa (Gereja Mula-mula, Ortodoks, Katolik, Protestan, Pentakosta dan Kharismatik). ANDI: Yogyakarta.
Woodgate, Michael. 2014. Buku Panduan Bagi Para Imam Untuk Mendengarkan Pengakuan Dosa. Kanisius: Yogyakarta.
)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua.
More Stories
Gelar Sosialisasi di Tiga Distrik Dapil IV, ADEM: Ini Program Prioritas Kami
Jabatan sebagai Jaminan Politik di Papua
Baku Tembak Antara TPNPB dan Militer Indonesia Kota Sugapa, Aibon Kogoya Siap Bertanggung Jawab