DETIK PAPUA

Berita Papua Terkini

 

(Sebuah Bidaah Baru, Papua “Mengekskomunikasi” Uskup Mandagi)

*Siorus Ewanaibi Degei

Pertama, marsionisme. Bidaah ini menurut pakar sejarah gereja Indonesia, Romo Eddy Kristiyanto OFM, adalah sebuah bidaah yang paling lama Gereja perangi dan rupanya ia juga paling kuat. Marsionisme adalah sebuah bidaah yang dirintis oleh seorang yang bernama Marion atau Marcion berasal dari Sinope, Pontus, Asia kecil, ia hidup di abad kedua masehi, tepatnya tahun 70-150. Marsionisme adalah ajaran sesat yang melihat subtansi Allah secara dualistis-diskriminatif. Marsionisme membuat gab terjal antara wujud Allah dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB).

Ia meyakinkan banyak orang bahwa Allah dalam PL dan PB itu kontras sekali. Allah yang PL wartakan itu adalah Allah yang kuat, perkasa, panglima perang tangguh, raja kuat, hakim tegas yang berpedoman pada hukum “mata ganti mata, gigi ganti”. Sementara Allah dalam PB itu terlalu lemah, lembek, tidak kuat, raja rentan yang berpedoman pada hukum “jika pipi kirimu ditampar, berikanlah pula pipi kananmu”, “kasihilah musuhmu”. Marsionisme ini masih berdenyut dalam agama Yahudi, gnotisisme, juga sedikit banyaknya bersemayam dalam nadi ateisme, (Situmorang, 2014; 127-129).

Kedua, arianisme. Bidaah ini berasal dari seorang imam dari Aleksandria, Mesir, bernama Arius (256-336 M). Ia juga sama seperti Marsion, jika Marsion melihat Allah secara dulistis, diskriminatif dan subordinatif, Arius juga melihat dengan cara pandang yang sama ihwal konsep kristologi. Arianisme oleh elite dan sarjana Gereja kala itu mereka anggap sebagai salah bidaah paling besar, karena ia langsung menyerang jantung teologi atau jantung iman krisniani, yaitu kedudukkan Tuhan Yesus. 

Bagi arianisme, Yesus itu bukan Allah, Ia hanyalah ciptaan biasa, namun Ia tidak seperti ciptaan lain atau manusia lain, Ia tampil agak khusus sebagai manusia yang super. Jadi, bagi arianisme, Yesus itu bukan Allah, ia hanyalah ciptaan, tepatnya manusia super, atau malah salah satu dari para nabi yang memiliki anugrah ajaib, (Situmorang, 2014; 136-138).

Ketiga, apollinarisme. Ini adalah padangan sesat yang berasal dari seorang Uskup bernama  Apollinaris dari Laodikea (310-390 M). Pandangannya hampir mirip juga dengan padangan arianisme, kedua-nya sama-sama menyasar satu item, yakni Yesus Kristus. Jika dalam arianisme kita melihat penolakkan total tertuju atas penghayatan Yesus sebagai 100% Alla-100% Manusia, maka dalam bidaah bernama apollinarisme ini yang ia tolak ialah jiwa insani Yesus Kristus, baginya Yesus itu cukup dan murni 100% Allah, tidak ada unsur kemanusiaan dalam dirinya, terutama dalam alam pikirannya, semuanya murni Allah. Apollianiarisme juga jatuh pada kesimpulan imparsial-distingtif sebagaimana yang terlihat dalam marsionisme, dan arianisme, (Situmorang, 2014; 139).

Keempat, sabellianisme. Muncul pada abad kedua oleh seorang yang bernama Sebelius, seorang filsug berkebangsaan Yunani antik. Sabellianisme tidak lagi melihat Allah dengan kacamata dualistis yang rancu, ia sudah melihat Allah sebagai sautu hipotetis, sata dasar yang tidak terduakan. Allah itu Allah, Putra itu Putra dan Roh Kudus itu Kudus, ketiganya tidak bisa dipersatukan, sebab ketiganya memiliki subtansi yang khas masing-masing, (Hwang, 2016;60).

Kelima, nestorianisme. Doktrin sesat lain juga dilahirkan oleh seorang Uskup (patriak) Gereja Timur bernama Nestorius (386-451). Ia memanadang Yesus sebagai dua pribadi yang tidak tunggal, Yesus itu Allah sekaligus Putra tetapi tidak dalam waktu yang bersamaan. Nestorianisme menolak doktrin ketunggalan Yesus dalam dua pribadi, ia lebih memilih dan mengajukan Yesus dalam konsep yang dwi-tunggal, Allah dan Manusia, (Situmorang, 2014; 140).

Keenam, pelagiansime. Ia menolak dotrin tentang dosa asal, baginya jika manusia adalah citra Allah, maka secara hakiki manusia tidak mampu terberangus dosa asal, sebab manusia berasal dari Allah yang adalah suci, sehingga dosa manusia pertama, Adam itu tidak mempan bagia setiap manusia. 

Lanjut Pelagianisme, berkat kekudusan sebagai konsekuensi logis sebagai ciptaan Allah itu, maka manusia juga tidak membutuhkan pertolongan atau bantuan Allah segala macam, semisal rahmat untuk ia jadikan pengangan hidup baik atau buruk, sebab pada hakekatnya manusia bersumber dari kebaikan, maka selanjutnya pun ia akan terarah pada kebaikan itu pula tanpa butuh bantuan Tuhan. Ini adalah bidaah yang berasal dari seorang yang bernama Pelagius, berasal dari Inggris dan kemudian terkenal di Romawi, ia seorang rahib dan guru yang cukup bernama, (Situmorang, 2014; 206).

Ketujuh, monotelitisme. Secara etimologis berasal dari dua kata yakni mono dan thelin dalam bahasa Yunani, mono artinya satu, dan thelin adalah kehendak. Bidaah mengajarkan bahwa Yesus hanya punya satu kehendak, yaitu kehendak sebagai Allah atau kehendak ilahi, Ia sekali-kali tidak memiliki kehendak manusiawi. Monotelitisme ini dipopulerkan oleh Uskup Sergius, Uskup Agung dari Yerusalem.

Kedelapan, ikonoklasme. Berasal dari bahasa Yunani, eikon yang berarti gambar. Ikonoklasme berarti bidaah yang menolak gambar-gambar religius, ini sebutan untuk sebuah gerakan pemusnahan gambar-gambar religius. 

Masih banyak lagi bidaah-bidaah atau heresi yang subur, tumbuh, mekar dan tumbang di dalam sejarah Gereja Katolik. Ada bidaah-bidaah yang Gereja hadapi secara damai dengan menempuh jalur hukum yang mereka sebut konsili atau konsili ekumenis, sementara secara kasar atau keras, Gereja tempuh jalur inkuisisi, dengan jalan membakar para pionir bidaah-bidaah yang muncul baik dalam bentuk gagasan maupun gerakan yang kedua-duanya selalu menumculkan peristiwa-peristiwa heboh yang menyusahkan otiritas dogma juga hirarki Gereja. 

Bidaah-bidaah berkembang dalam Gereja, pertama-tama karena ada fasilitas berupa kuasa. Kebanyakan para pelopor bidaah ini bukan orang sembarangan, mereka punya power berupa status quo dan prestisenya di muka umum. Misalnyal, para imam, uskup, guru, dan tokoh-tokoh publik lainnya. Dengan pengaruh dan jaringannya yang ada mereka dengan leluasa mampu menyebar-luaskan tata ajaran atau doktrinnya. 

Beberapa dari mereka pun tidak jarang terlindung dari armada-armada perang kekaisaran atau kerajaan, sehingga keamanan romawi sulit membendum gejalahnya. Mereka terlingdung tembok kerajaan dan jubah raja-kaisar. Dalam versi dewasa ini, mereka terlindung panglima dan jenderal militer berbintang, mereka juga terlindung oleh para penguasa dan pengusaha kaliber dengan harta-benda glamor yang melimpah. 

Dalam sejarahnya ada tujuh kali Gereja gelar konsilis ekumenis untuk membenamkan bidaah-bidaha yang muncul. Pertama, konsili Nicea I, tahun 325 berlangsung dari tanggal 20 Mei sampai 09 Juni. Penyelenggara konsili ini adalah kaisar Konstantinus sementara pimpinnya  adalah Osius dari Cordoba, peserta yang hadir berjumlah 318 orang. Dalam konsili ini pun tanpa ampun bidaah arianisme otoritas Gereja jagat ekskomunikasikan; 

Kedua, konsili Konstantinopel I berlangsung pada tahun 381 dari bulan Mei sampai bulan Juli, kaisar Theodosius I tampil sebagai penyelenggara konsili, di sini ada lima sarjana yang hadir mewakili otoritas magisterium Gereja yaitu Timotius dari Aleksandria, Meletius dari Antiokhia dan Nazasianzus dan Nektarius dari Konstantinopel dengan peserta sebanyak 150 orang.  Pada kesempatan ini tiga bidaah utama dibahas, seperti arianisme, apollianirisme dan sabellianisme; 

Ketiga, konsili Efesus, terjadi pada tahun 431 dari tanggal 22 bulan Juni sampai tanggal 31 bulan Juli. Konsili ini diselenggarakan atas dasar inisiatif kaisar Theodosius II, pemimpinya adalah Sirilius dari Aleksandria, ada sekitar 200-250 orang yang hadir. Mereka membahas bidaah nestorianisme, dogma theotokos dan bidaah pelagianisme; Keempat, konsili Kalsedon, pada tahun 451 dari 08 Oktober sampai 01 November, kaisar Marcianus menjadi inisiator penyelenggaranya, sementara  Anatolius sebagai pemimpi konsili ini, ada sekitar 520 orang yang hadir saat itu. Mereka membahas dokrin sesat tentang kristologi juga topik-topik hangat seputar kehidupan para uskup yang kala itu kalang kabut; 

Kelima, konsili Konstantinopel II, berlangsung pada tahun 553 muali dari tanggal 05 Mei sampai 02 Juni yang difasilitas oleh kaisar Yustinianus I dan dipmpin oleh Eutikhius dari Konstantinopel, 152 orang hadir sebagai partisipan. Konsili ini membahas cukup panjang lebar terkait dua bidaah yang laris waktu itu, yakni nestprianisme dan monofisitisme; Keenam, konsili Konstantinopel III, terjadi pada tahun 680-681 dari tanggal 07 November sampai 16 September, kaisar Konstantinus IV tampil sebagai fasilitator, sementara Patriak Gregorius I dari Konstantinopel hadir sebagai pemimpin konsilinya, 300 orang partisipan ikut meramaikan. 

Pada kesempatan konsili ini, bidaah monotelitisme diguliti; Ketujuh, konsili Nicea II, berlangsung pada 24 September sampai 23 Oktober tahun 787, fasilitator konsilinya adalah Konstantinus VI dan Maharani Irena sebagai wali, pemimpin jalannya konsili adalah Patriak Tarasios dan para perwakilan dari Paus Adriaus I. Partisipan dalam konsili ini sebanyak 350, di sana mereka membahas tentang bidaah ikonoklasme Binzantium, (https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia). Bersambung (*)

)* Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua.

Loading

About Author