DetikPapua.Com : “Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, saya menduga Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sedang berusaha “mengingkari” pengakuan negara terhadap akar persoalan sosial-politik Tanah Papua yaitu sejarah integrasi Papua,” kata Yan Warinussy SH, 08/05.
Lanjutnya, berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2008. Ditemukan sumber-sumber konflik di Tanah Papua yang dikelompokkan dalam 4 (empat) isu, yaitu pertama, diskriminasi dan efek diskriminasi terhadap orang asli Papua (OAP) akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak tahun 1970. Untuk menjawab masalah/isu ini, kebijakan afirmatif rekoqnisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan OAP. Kedua, Kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu diperlukan semacam paradigma baru pembagunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan OAP di kampung-kampung. Ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang dilakukan untuk Aceh. Keempat, pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Tanah Papua.
“Untuk ini, jalan rekonsiliasi diantara pengadilan hak asasi manusia (HAM) dan pengungkapan kebenaran adalah pilihan-pilihan untuk penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Tanah Papua secara umum,” terangnya.
“Pernyataan saya tentang upaya “mengingkari” fakta yang telah diakui Negara di dalam konsideran menimbang huruf e dari UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Yaitu bahwa Negara menyadari sungguh bahwa Papua (tulis : Tanah Papua) memiliki sejarah sendiri yang berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya,” tuturnya.
Menurut Warinussy, Oleh sebab itu di dalam amanat pasal 45 dan pasal 46 UU Otsus Papua diatur mengenai cara-cara Negara menghormati dan melindungi HAM rakyat Papua, yakni dengan mendirikan perwakilan Komisi Nasional (Komnas) HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM. Pasal 46 mengatur tentang Maksud dan tujuan dibentuknya KKR beserta tugas, susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan dan pelaksanaan tugas serta pembiayaan KKR.
“Dengan demikian saya memandang bahwa adalah tepat jika pemerintahan Presiden Joko Widodo mengutamakan pendekatan lebih lunak (soft) dengan bersandar pada implementasi amanat pasal 45 dan pasal 46 UU Otsus Papua tersebut. Penyelesaian akar masalah berupa perbedaan pandangan mengenai sejarah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Serta pengungkapan kebenaran dan penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu dan kini di Tanah Papua menjadi utang politik negara Indonesia yang seyogyanya mulai dilakukan oleh Pemerintah Presiden Joko Widodo sesuai janjinya pada tanggal 28 Desember 2014 di Stadion Mandala, Jayapura,” tutupnya. (redaksi/*)
More Stories
Gelar Sosialisasi di Tiga Distrik Dapil IV, ADEM: Ini Program Prioritas Kami
Jabatan sebagai Jaminan Politik di Papua
Baku Tembak Antara TPNPB dan Militer Indonesia Kota Sugapa, Aibon Kogoya Siap Bertanggung Jawab